Visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi procedural dengan tekanan
orientasi jangka pendek, dengan muara arus kebangsaan dan kenegaraan yang tidak menentu.
Pilihan dan program pembangunan tercegat dalam kubangan kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan.
Setiap percobaan perubahan kembali tergulung oleh tekanan kedaruratan. Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dijalani secara kontradiktif.
Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan perencanaan jangka panjang
berkesinambungan untuk meresponnya.
Namun orientasi politik dan visi waktu politik kita justru tertawan short-termism.
Pada tata ranah sejahtera, demokrasi politik tidak berjalan seiring dengan demokrasi
ekonomi.
Kesenjangan sosial makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam
distribusi harta, kesempatan dan previlise sosial.
Selain itu, Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat.
Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar
untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita.
Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan deficit neraca perdagangan, tidak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif.