05/11/2025
Aktual

Pekerja Tabloid Wanita Indonesia Diminta Mengundurkan Diri Oleh Manajemen

JAKARTA (Pos Sore) — Upaya mediasi bipartit antara pihak perusahaan PT. Citra Media Persada yang membawahi Tabloid Wanita Indonesia dengan pihak perwakilan karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak di kantor LBH Pers, Jakarta Selatan, pada Jumat (8/9) tidak mencapai kesepakatan atau berakhir deadlock.

Dalam pertemuan itu pihak perusahaan tidak mau menanggapi tuntutan para karyawan terkait hak mereka setelah menjadi korban PHK. Aksi pemecatan pada 9 orang karyawan Tabloid Wanita Indonesia secara sepihak pun berbuntut panjang.

Didampingi oleh Lembaga Hukum Pers (LBH Pers), 9 dari 4 karyawan media wanita ini mengajukan 2 poin persoalan yang menjadi tuntutan mereka. Pertama, terkait permintaan pihak perusahaan kepada para karyawan yang di–PHK untuk membuat surat pengunduran diri. Kedua, proses pembayaran uang pesangon yang akan diselesaikan dengan cara mencicil dalam waktu selama 24 kali atau 2 tahun.

Budi Hartono, karyawan senior yang telah mengabdi pada perusahaan selama 25 tahun secara tegas tidak terima. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang dilakukan pihak manajemen sudah jelas melanggar hukum. Karena karyawan yang di-PHK harus mendapatkan haknya yaitu berupa pembayaran uang pesangon harus dilakukan secara tunai.

“Kejanggalan yang lain adalah, kami ini kan di-PHK, tapi kami justru diminta membuat surat pengunduran diri. Padahal antara PHK dan pengunduran diri kan 2 hal yang berbeda,” ungkap Budi.

Budi menceritakan, pihak manajemen Tabloid Wanita Indonesia, pada 2 Agustus 2018 meminta seluruh karyawan untuk memenuhi undangan rapat tapi surat undangan yang disampaikan secara langsung oleh Direktur Utama Tabloid Wanita Indonesia, Anis Wuryaningsih melalui WA itu tidak menjelaskan agendanya apa.

Ternyata pada hari yang telah ditentukan, rapat tersebut membahas tentang kondisi sulit pertarungan media cetak di tengah gempuran media berbasis digital. Sebagai langkah untuk menyelamatkan perusahaan, pihak manajemen merasa perlu memangkas jumlah karyawan.

Ketika itu, pihak perusahaan langsung menyatakan pada hari itu juga akan memanggil siapa-siapa saja yang akan terkena imbas PHK itu. Jika merujuk pada UU Ketenagakerjaan, upaya PHK harus disosialisasikan paling tidak satu bulan sebelum PHK diputuskan.

“Nah, ini hanya beberapa jam setelah mereka menyampaikan kondisi perusahaan, kemudian usai rapat mereka langsung panggil satu persatu nama yang terkena PHK. Ini yang kami sesalkan,” urai Budi.

Karena dilakukan secara tergesa-gesa dan sedikit memaksa, seluruh karyawan yang terkena PHK terlanjur membubuhi tanda tangan surat kesepakatan bersama perihal pembayaran pesangon yang akan mereka cicil selama 24 kali.

Dewi, salah satu rekan Budi juga menyampaikan tindakan tidak profesional yang dilakukan manajemen. Karena ia sendiri kurang mengerti soal hukum, jadi ketika diminta tanda tangan soal cicilan 24 kali itu, setelah dipaksa, ia dan rekannya yang lain pun menandatangani surat itu.

“Padahal saya sempat mempertanyakan kenapa pesangon dibayar dengan mencicil, mereka bilang perusahaan tidak punya uang untuk bayar cash. Tapi begitu saya diminta juga menulis surat resign, saya baru tersadar bahwa hal ini sudah nggak benar,” sambung Dewi.

Penolakan Dewi ini ternyata juga diikuti oleh tiga orang temannya yang lain, termasuk Budi. Jadi dari 9 orang yang tanda tangan surat pencicilan pesangon selama 24 kali, ada empat orang tidak mau bikin surat resign. Sementara yang lainnya sudah terlanjur membuat.

“Ketika saya menolak membuat surat resign, legal perusahaan langsung mengancam saya. Dia bilang saya harus segera bikin surat resign hari itu juga karena besok dan seterusnya saya tidak boleh datang ke kantor lagi,” katanya.

Atas ketidakadilan ini, keempat karyawan Tabloid WI ini mengadukan nasib mereka pada Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Aliansi Jurnalis independen (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers).

Pada 8 September 2018, Bipartit pertama telah dilaksanakan di kantor LBH Pers antara para pihak di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Namun pihak manajemen Tabloid Wanita Indonesia yang diwakili 2 orang, yaitu terdiri dari A. Khoir SH, selaku legal dan Syahri, perwakilan dari divisi HRD tidak bergeming.

Dengan alasan perusahaan tidak sanggup membayar uang pesangon secara tunai lantaran defisit anggaran, mereka memilih melakukan tahap selanjutnya yaitu Tripartit di suku dinas tenaga kerja dan transmigrasi.

Sebagaimana diketahui Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut merupakan Dewan Pembina di Tabloid Wanita Indonesia. Tabloid Wanita Indonesia berdiri pada 1989 atas inisiatif mantan model Donna Sita Indria, yang tak lain sahabat karib Mbak Tutut.

Di tangan Donna Sita, Tabloid Wanita Indonesia sempat mengalami masa kejayaan, terutama ketika pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan HM. Soeharto mengharuskan seluruh departemen wajib berlangganan. (tety)

Leave a Comment