Salah satu foro unjuk rasa menolak RUU KUHP yang disahkan menjadi UU oleh DOR RI, dengan Slogan: Semua Bisa Kena…/Foto: Istimewa
POSSORE.ID,Jakarta — Ini penegasan seorang anggota x DPR RI, Safaruddin, mengenai informasi yang beredar di ruang publik terkait kewenangan penyadapan, penahanan, maupun penyitaan tanpa izin hakim di RUU KUHAP yang kini sudah ditetapkan jadi Undang-undang,
Safarudin yang duduk di Komisi III itu (membidangi masalah hukum) menyatakan informsi yang beredar tersebut adalah tidak benar. Ia sengaja menyampaikan hal tersebut untuk meluruskan kekeliruan percakapan yang berkembang di dunia maya, khususnya menyangkut proses penegakan hukum.
“Pembahasan tentang penyadapan itu belum masuk dalam materi UU (KUHAP) ini. Itu akan dibahas dalam undang-undang tersendiri. Jadi kalau ada yang menyatakan seolah-olah penyadapan tanpa izin hakim bisa dilakukan, itu tidak benar,” ujarnya Senayan, Jakarta, Selasa (25/11/25).
Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa informasi yang beredar di publik terkait kewenangan penyadapan, penahanan, maupun penyitaan tanpa izin hakim di RUU KUHAP adalah tidak benar.
Ia menyampaikan hal tersebut untuk meluruskan kekeliruan percakapan yang berkembang di dunia maya, khususnya menyangkut proses penegakan hukum.
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menekankan bahwa seluruh tindakan paksa, termasuk penyitaan atau tindakan hukum lainnya, tetap harus mendapatkan izin dari hakim, sesuai ketentuan KUHAP.
Ia mendorong publik untuk merujuk langsung pada regulasi yang berlaku guna menghindari kesimpangsiuran informasi. “Silakan buka KUHAP. Di sana sangat jelas bahwa tindakan seperti penyitaan dan seterusnya tetap harus melalui izin hakim,” pungkasnya.
Sebagaimana dikutip Parlementaria, terdapat beberapa hoaks yang menyebar terkait muatan substansi UU KUHAP yang baru beberapa hari lalu disahkan.
Hoaks pertama yang beredar, menurut Parlementaria, menyebut KUHAP baru memungkinkan polisi melakukan penyadapan secara diam-diam tanpa izin pengadilan. Habiburokhman menegaskan hal itu tidak benar.
Sementara Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman berdalih dalam Pasal 135 ayat (2) KUHAP baru justru tidak mengatur mekanisme penyadapan sama sekali. (lia)
