Oleh: Zaenal Abidin
Setelah disahkannya UU Omnibus Kesehatan, beberapa pemberitaan media mengatakan IDI di ujung tanduk. Ada pula yang mengatakan IDI sudah di ujung jalan. Selamat tinggal IDI. Dan sebagainya. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa dalam waktu tidak lama lagi Ikatan Dokter Indonesia yang disingkat IDI, akan tamat.
Memang tidak-tanggung-tanggung sebab petinggi Kementerian Kesehatan sendiri ikut melakukannya. Tidak cukup dengan petinggi kementerian, para buzzer bayaran pun dikerahkan untuk melancarkan serangan melalui media mainstream maupuan media sosial. Bahkan ditengarai pula ada oknum yang bergerilya ke daerah untuk menggoda dan memecah belah IDI serta Kolegiumnya.
Akibatnya beberapa pengurus, termasuk pengurus IDI Cabang Kota Bekasi bertanya-tanya, bagaimana kondisi IDI pasca pengesahan UU Omnibus Kesehatan? Memang sebahagian dari mereka berkata, “Tenang saja, masih banyak peraturan pelaksanaan juga belum diselesaikan.”
Namun, sebahagian lagi berkata, “Pemerintah bisa saja memaksakan semua peraturan pelaksanaan selesai dalam waktu yang sangat singkat. Buktinya undang-undang belum disahkan saja, Permenkes No. 6 Tahun 2023 tentang Pendayagunaan Dokter Asing sudah terbit, dan seterusnya.” Begitulah percakapan yang mengemuka di ruang rapat, Sekretariat IDI Cabang Kota Bekasi, 25 Juli 2023.
Alasan IDI Belum Tamat
Di dalam rapat penulis berusaha meyakinkan Pengurus IDI Cabang Kota Bekasi bahwa IDI belum tamat dengan mengemukakan “sepuluh alasan”, sebagai berikut.
Pertama, IDI didirikan dengan kemurnian niat oleh para pendirinya. “Kalau bukan karena moral yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi dari pemuka kedua pihak (PDI dan Pethabin), maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa penyelesaian yang mulia” (Dr. Bahder Djohan).
Kedua, IDI telah memiliki torehan atau catatan sejarah panjang dan indah di negeri ini. Cita-cita awal berdirinya IDI adalah menyatukan dua organisasi dokter (PDI & Pertabin) menjadi satu organisasi profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia).
Satu organisasi profesi dokter bermakna: 1), Satu organisasi profesi yang mempersatukan dokter-dokter Indonesia dan untuk melanjutkan cita-cita perjuangan pendahulunya serta mengisi kemerdekaan. 2) Satu organisasi profesi yang merupakan representasi dunia dokter dan dunia kedokteran Indonesia ke dalam dan ke luar negeri.
Ketiga, sejak awal kelahirannya (24 Oktober 1950) sudah mendapatkan pengesahan, kemudian berbadan hukum sah sebagai organisasi profesi dokter Indonesia satu-satunya, yang berbentuk perkumpulan.
Hari kelahiran IDI di atas diambil dari pengesahan notaris yang dilakukan oleh Notaris Raden Kardiman yang tetuang dalam akte, di jalan Waworuntu No. 109, tertanggal 24 Oktober 1950. Dan selanjutnya disahkan sebagai badan hukum yang dikukuhkan dengan memuat Anggaran dasar IDI pada Berita Negara R.I. Nomor 9 Tahun 1951, sebagai tambahan Berita Negara Nomor 13 tanggal 13 Februari 1951.
Sebulan sebelumnya, Menteri Kehakiman R.I, juga telah mensahkan Anggaran Dasar IDI melalui Surat Ketetapan Nomor J.A.8/9/20 tertanggal 18 Januari 1951. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa yang ditunjuk mewakili untuk mengurus akte pendirian Ikatan Dokter Indonesia dengan adanya surat permohonan tertanggal 3 Nopember 1950 adalah Sarwono Prawiwoatmodjo.
Keempat, Selama masih ada anggota dan pengurus yang setia kepada IDI. Apalagi bila setiap saat anggotanya bertambah dengan dokter baru. Artinya IDI selalu siap ber-regenerasi kapan saja. IDI pun punya aturan organisasi sangat lengkap, yang dievalusi dan diperbaharui setiap tiga tahunnya. Mulai dari AD-ART, Tata Laksana Organisasi, Peraturan dan Pedoman IDI, Standar Profesi, dan lain-lain.
Jadi IDI bukan Organisasi Abal-abal (OA). Bukan pula Organisasi Papan Nama (OPN) dan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Kelima, sebagai organisasi profesi, IDI itu sangat unik atau spesifik, sebab mengurus orang-orang yang juga pekerjaannya sangat unik dan spesifik. Pekerjaan unik itu adalah pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan oleh IDI jajaran organisasinya sendiri.
Pekerjaan unik adalah pekerjaan yang tidak dapat digantikan oleh orang lain atau profesi lain, kecuali oleh peer grupnya sendiri. Itulah profesi dan itulah dokter. Jika semua orang bisa melakukan dan menggantikan pekerjaan dokter berarti dokter itu bukan profesi.
Contoh lain keunikan itu: Membuat standar atas pekerjaannya (standar profesi), menyepakati atau menyetujui standar yang telah dibuatnya, mengerjakan pekerjaannya sesuai standar yang telah disepakati, dan mengevaluasi hasil pekerjaannya apakah sudah sesuai dengan standar yang dimilikinya sendiri. IDI juga merumuskan pengembangan kompetensi anggotanya, menyepakati, menjalankan, dan mengevaluasinya sendiri.
Begitu pula terkait perilaku anggota dalam melaksanakan perkerjaan atau pengamalan profesinya. IDI merumuskan sendiri Kodeki, menyepakati sendiri, menerapkan sendiri, dan mengevaluasi sendiri melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Dan bila ada orang luar yang ingin ikut capur tangan (cawa-cawe) dalam urusan etik suatu profesi pastikan bahwa orang tersebut tidak mengerti apa itu profesi dan organisasi profesi.
Keenam, selain organisasi profesi, IDI juga merupakan perkumpulan orang cendekia yang mandiri. IDI tidak memperoleh bantuan dana kepada pemerintah. Bahkan boleh dikata IDI pun tidak pernah meminta bantuan pemikiran kepada pemerintah, karena IDI adalah wadah berkumpulnya para profesional cedekia. Pemerintahlah yang sering meminta bantuan pemikiran kepada IDI terutama terkait pelayanan kesehatan dan standar pelayanan.
Ketujuh, IDI adalah organisasi profesi yang merupakan representasi dokter Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan internasional. IDI merupakan anggota aktif World Medical Association (WMA), Confederation of Medical Associations in Asia and Oceania (CMAAO), dan Medical Association of South East Asian Nations (MASEAN). Bahkan IDI adalah salah satu pemprakarsa berdirinya CMAAO (1959) dan MASEAN (1980).
Kedelapan, IDI tidak pernah dan tidak sedang menentang Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia Merdeka dan juga UUD Negara RI 1945 sebagai konstitusi negara. Kesembilan, IDI selalu berbakti kepada rakyat dan berjuang bersama rakyat, karena IDI berasal dari rakyat Indonesia.
Alasan kesepuluh, tentu saja karena “atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa” dan “atas petunjuk Tuhan Yang Maha Esa disertai usaha-usaha teratur, terencana, dan penuh kebijakan” sebagaimana yang tertuang di dalam Mukaddimah Anggaran Dasar IDI.
Dokter yang Tidak Menjadi Anggota IDI
Menjelang dan pasca pengesahan UU Omnibus Kesehatan munculnya pula organisasi yang mendeklarasikan diri sebagai tandingan IDI. Akibatnya, timbul pertanyaan dari Pengurus IDI Cabang Kota Bekasi, bagaimana bila ada dokter yang tidak mau menjadi anggota IDI?
Hemat penulis, bila ada dokter yang enggan menjadi anggota IDI, tidak perlu risau. Sebab, bukankah keanggotaan IDI bersifat aktif (tidak otomatis). Artinya, bila ada dokter Indonesia yang tidak mau menjadi anggota IDI tidak menjadi soal.
Namun demikian, bagi Pengurus IDI terdapat beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian berikut ini.
Pertama, Pengurus IDI harus memberi perhatian prioritas kepada anggotanya sendiri, karena itu berkaitan dengan hak anggota. Hak anggota untuk dibimbing agar tetap kompeten dalam berpraktik, dibimbing dan dijaga agar selalu berperilaku profesional, tidak malanggar etik, disiplin dan hukum. Dan juga melindungi dan mendampinginya bila menghadapi masalah etik, disiplin, dan hukum.
Kedua, dalam hubungannya dengan berpraktik, IDI tetap perlu memberikan Rekomendasi kepada anggotanya. Rekomendasi itu berupa keterangan bahwa dokter tersebut adalah benar anggota IDI dan benar kompeten melayani masyarakat berdasarkan “Sertifkat Kompetensi” dari Kolegium Profesi masing-masing. Dan juga rekomendasi bahwa anggota IDI tersebut tidak sedang menghadapi masalah etik (melanggar etik) berdasakan Sertifikat Etik yang dikeluarkan oleh Pengurus MKEK Cabang atau Wilayah.
Ketiga, Setifikat Kompetensi dari Kolegium Profesi dan Sertifikat Etik dari MKEK hendaknya dipasang di tempat praktik masing-masing, sehingga dapat membedakan mana anggota IDI dan mana yang bukan anggota IDI.
Keempat, bila ada anggota IDI yang belum memenuhi syarat karena terkendala oleh belum keluarnya Sertifikat Kompetensi dari Kologium Profesi atau terkendala karena belum keluarga Sertifikat Etik dari MKEK maka menjadi kewajiban pengurus IDI untuk membantu serta membimbingnya agar yang bersangkutan mampu memperoleh kedua rekomendasi tersebut.
Kelima, demikian pula bila ada anggota IDI yang terkendala karena sedang bermasalah etik, disiplin atau hukum maka pengurus IDI pun berkewajiban untuk mendampingi sampai masalahnya selesai. Lalu memberinya Surat Rekomendasi berdasarkan keterangan/Rekomendasi MKEK (bermasalah etik), MKDKI (bermasalah disiplin), dan penegak hukum (bermasalah hukum) dan kemudian merehabilitasi namanya sehingga dokter bersangkutan dapat kembali berpraktik melayani masyarakat dengan baik.
Catatan Akhir
Sebagaimana jamaknya di setiap organisasi selalu ada hak dan kewajiban seimbang bagi anggotanya. IDI pun demikian. Hak dan Kewajiban anggota IDI diputuskan melalui Keputusan Muktamar IDI, Kongres Perhimpunan, Musyarah Wilayah dan Cabang, Keputusan Pengurus Besar IDI, dan lainnya. Semuanya diambil melalui rapat dengan mekanisme musyawarah dan mufakat oleh orang banyak. Bukan ditentukan secara pribadi oleh Ketua IDI.
Pengurus IDI dan organisasi IDI tentu ada kelemahannya, namun tentu juga banyak kelebihannya, yang pihak atau institusi lain tidak punyai. Karena itu apa pun yang terjadi, pengurus IDI harus tetap belajar dan mengembangkan diri dan mengembangkan IDI sebagai organisasi profesi para dokter.
Anggap saja masalah ini sebagai cambuk untuk makin memajukan IDI. Hadapi semua dengan soliditas tinggi, penuh semangat, dan penuh keyakinan. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk menuju jalan yang selurus-lurusnya kepada IDI dan kepada seluruh anggotanya.
Wallahu a’lam bishawab.
(Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015)