16 C
New York
13/10/2024
Aktual

Kekhawatiran Akan Nasib Rentan PRT di Asia dan Timteng Meningkat

KUALA LUMPUR — Sepasang suami istri asal Malaysia dijatuhi hukuman gantung karena terbukti sengaja membuat kelaparan seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia hingga tewas.  PRT bernama Isti Komariyah (26) hanya memiliki berat 26 kilogram saat ditemukan tewas di Kuala Lumpur pada Juni 2011. Pengadilan Tinggi di Shah Alam pekan ini menyimpulkan korban tewas karena sengaja dibiarkan kelaparan oleh majikan.

“Wanita berusia 26 tahun ini hanya memiliki berat 26 kilogram saat dibawa ke rumah sakit University Malaya Medical Centre dengan tubuh penuh memar dan goresan luka di punggung, tangan dan dahi,” demikian simpul pengadilan tinggi Malaysia seperti dikutip suratkabar The Star kemarin.

Fong Kong Meng (58) dan istrinya Teoh Ching Yen(56)  kerap tidak memberi makan Isti selama tiga tahun bekerja kepada mereka.  Saat pertama kali bekerja pada pasutri itu, berat Isti masih 46 kilogram.  Penasihat hukum Ramkarpal Singh mengkonfirmasikan hukuman itu dan kliennya akan mengajukan banding.

Belakangan ini semakin meningkat kekhawatiran akan nasib rentan yang dialami jutaan PRT asal Indonesia, Filipina, Kamboja dan pekerja domestik lain yang bekerja di Asia dan Timur Tengah. Berbagai kasus penyiksaan dan orang pembunuhan dialami sejumlah PRT.

Seorang PRT asal Kamboja mati kelaparan pada 2012 lalu oleh majikannya, orang Malaysia. Akibatnya, pelaku harus mendekam 24 tahun di penjara. Pemerintah Kamboja bahkan tidak lagi mengirimkan PRT setahun sebelumnya setelah terjadi berbagai kasus penyiksaan.

Sepasang suami istri Singapura dinyatakan bersalah telah menyiksa pada Kamis lalu setelah seorang pekerja domestik asal Indonesia mengalami penurunan berat 20 kilogram lantaran kurang mendapatkan makanan selama tujuh bulan bekerja. Korban juga mengalami penyiksaan fisik.

Pemerintah Hongkong pekan lalu berjanji akan meningkatkan pengawasan perekrutan PRT menyusul kasus penyiksaan seorang PRT Asal Indonesia, Erwiana Sulistyaningsih, yang kini tak bisa berjalan sendiri.  Majikannya telah ditangkap dan dituduh melakukan penyiksaan.

Jumhur Hidayat, kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri, mengatakan ia sangat terkejut atas hukuman pengadilan Malaysia yang tergolong keras.  Namun pihaknya masih menerima laporan kasus penyiksaan yang jumlahnya terus meningkat. Ia menyalahkan lemahnya berbagai sistem pemantauan kesejahteraan para PRT.  “Tentu saja apa yang mereka lakukan tidak manusiawi. Tapi dengan sistem yang lebih baik, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Kami ingin memasukkan berbagai tes kejiwaan dan inspeksi serta wawancara dengan calon majikan,” tegas Jumhur.

Berbagai kasus penyiksaan yang terungkap tahun 2009 membuat pemerintah RI menerapkan moratorium pengiriman TKW ke Malaysia.  Malaysia juga mengambil beberapa kebijakan baru guna meningkatkan kesejahteraan para pekerja domestik. Termasuk memberikan sekurangnya libur sehari dalam sepekan dan menaikkan upah minimum bulanan hampir dua kali lipat menjadi 700 ringgit (setara dengan 210 dolar AS).  Namun para aktivis menilai kebijakan baru itu masih belum cukup.  Malaysia memiliki sekitar 400.000 pekerja domestik perempuan. Sekitar separuh di antaranya bekerja tanpa dokumen resmi.

Raja Zulkepley Dahalan, kepala Asosiasi Nasional Agensi Perekrutan Malaysia, menyatakan ia berharap hukuman mati itu akan memulihkan kepercayaan negara-negara sumber “bahwa kami serius tentang penanganan kasus penyiksaan PRT.”  Sementara Arab Saudi sudah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah RI bulan lalu untuk memberikan perlindungan lebih baik kepada TKW. Sekalipun sejumlah aktivis masih menuntut reformasi lebih lanjut.

Pada beberapa kasus, PRT malah terjerat hukum. Belum lama ini seorang PRT muda asal Indonesia telah diadili di Malaysia atas tuduhan membunuh majikannya dengan menusuknya hingga 42 kali. Namun pihak pembela menilai pelaku kerap disiksa majikannya.(arabnews/meidia)

Leave a Comment