Sebagai dokter pertama yang datang ke Indonesia, dr. Bontinus menulis bahwa pada awal kedangannya ditemukan 19 penyakit yang diderita penduduk. Kesembilan belas penyakit tersebut, yaitu: beri-beri, tetanus, disentri, hemoroid interna, penyakit usus dengan proktitis bernanah, kolera, penyakit hati (obstruksi dan peradangan), odema, ikterus, atrofi dan emasiasi, penyakit paru (batuk darah dan radang), empiema, demam, malaria, kebutaan dan gangguan penglihatan pelaut, penyakit kulit (kurap dan lepra), gigitan kutu dan nyamuk, serta frambusia.
Dr. Bontinus mengenal betul penyakit beri-beri, sebab istri kedua dan dua putranya pernah kena beri-beri. Bahkan beliau sendiri pernah menderita. Tahun 1630, istri keduanya, Sara Gerardi meninggal karena terserang kolera. Dan tahun 1631 putra sulungnya, Jan meninggal karena cacar air. Tahun 1632 dr. Bontinus sendiri meninggal dalam usia 40 tahun di Batavia.
Tahun 1867 prestasi Dokter Jawa ini dianggap kurang memadai sehingga menjadi pembicaraan di negeri Belanda. Akibatnya, tugas Dokter Jawa diturunkan menjadi hanya boleh mencacar saja. Sekali pun prestasi Dokter Jawa turun, namun dari buku yang penulis baca, penulis tidak menemukan adanya pemikiran untuk mendatangkan banyak dokter dari Belanda. Pun tidak menemukan adanya wacana untuk menaturalisasi dokter asing guna merawat kesehatan penduduk pribumi.
Bahkan yang muncul adalah usulan direktur sekolah, J.J.W.E. van Riemsdijk agar pendidikan kedokteran diteruskan dan disempurnakan. Dan atas usulan beliau, tahun 1875 sekolah kedokteran mengalami perombakan besar. Penerimaan murid maksimum 100 orang, umur 14 hingga 18 tahun dan tamat sekolah Melayu Pemerintah.
Lama pendidikan pun menjadi tujuh tahun. Dua tahun masa persiapan dan lima tahun untuk kedokteran. Dalam dua tahun persiapan diajarkan bahasa Belanda karena merupakan bahasa pengantar selama pendidikan. Di bagian persiapan murid diajar oleh dua orang guru, sedang di bagian kedokteran diajar oleh lima orang dokter militer dan dibantu dua orang Dokter Jawa.