Pendidikan Dokter di Indonesia
Dr. W. Bosch (Kepala Jawatan Kesehatan Tentara dan Sipil) di Indonesia mengusulkan agar pemerintah mendidik anak-anak Boemipoetra untuk menjadi pembantu dokter Belanda. Gagasan dr. W. Bosch ini melahirkan sekolah dokter Jawa dengan Keputusan Gubernur No. 22, tanggal 2 Januari 1849. Keputusan Gubernur ini berbunyi: Pertama, di rumah sakit militer akan dididik dengan “cuma-cuma” kurang lebih 20 orang pemuda Jawa untuk menjadi dokter pribumi dan vaccinateur (mantri cacar).
Kedua, yang akan diterima adalah pemuda dari kalangan baik-baik, pandai membaca dan menulis bahasa Melayu dan Jawa. Setelah selesai mengikuti pendidikan mereka harus bersedia masuk dinas pemerintah sebagai mantri cacar. Setelah sebanyak mungkin balajar sendiri, nanti dapat juga memberi pertolongan medis kepada penduduk daerahnya masing-masing. Ketiga, mereka yang menghendaki dapat gaji sebesar fl15, dan perumahan gratis.
Ada dua kejadian yang mendorong pemerintah Belanda mengadakan pendidikan dokter atau tenaga kesehatan bagi warga Boemipoetra, yaitu: Pertama, tahun 1847 daerah Banyumas dilanda berbagai macam wabah penyakit. Kedua, dokter dan tenaga kesehatan berbangsa Belanda merasa kewalahan menangani pasien pribumi. Ada juga mengatakan dokter Belanda merasa jijik dan takut tertular.
Dan atas prakarsa dr. W. Bosch pula, 1 Januari 1851 didirikanlah sekolah untuk mendidik pemuda-pemuda Jawa menjadi “Dokter Jawa”, di bawah pimpinan dr. P. Bleeker (direktur). Lama pendidikannya dua tahun untuk dipekerjakan sebagai dokter pembantu (hulp-geneesheer) dan bertugas memberi pengobatan dan vakninasi cacar.
Tahun 1851 dibukalah sekolah kedokteran Jawa dengan 12 orang murid yang mendapatkan nama eleve. Selama pendidikan, para eleve pun diberi tunjangan (beasiswa). Tahun 1853 telah berhasil meluluskan dokter pertama kali sebanyak 11 orang dengan gelar “Dokter Jawa”. Lima tahun kemudian (1858) lulusannya menjadi 23 Dokter Jawa, yang dipekerjakan sebagai mantri cacar, diperbantukan di rumah sakit, dan juga diperbantukan pada dokter militer.
Bencana, disentri, dan lepra memperburuk kondisi kesehatan di Indonesia terutama di Batavia. Bahkan penderita lepra semakin banyak sehingga perlu diasingkan ke Pulau Seribu. Saat itu, lepra masih dianggap penyakit keturunan yang amat mudah menular. Hal ini semua makin mendorong pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah dokter Jawa di Indonesia.