JAKARTA (Pos Sore) — Mantan pejabat Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, Muh. Harun Let Let, kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam sidang ketiga Kamis (14/3) itu majelis hakim mendengarkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Maidarlis, SH membacakan keberatan atas eksepsi penasehat hukum terdakwa yang telah dibacakan pada sidang sebelumnya.
JPU dalam dakwaannya menyatakan Harun telah melakukan tindak pidana penggelapan 17 sertifikat tanah milik KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia) di Desa Pantai Harapan Jaya, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Kasus ini terjadi antara tahun 2014-2016, setelah Harun ditumbangkan dari kepengurusan KPI melalui Munas Luar Biasa (Munaslub) di Jakarta pada April 2001.
Pada kepengurusan KPI periode 1997-2002, Harun sebagai Bendahara sedang Ketua Umumnya adalah Iskandar B. Ilahude. Pada periode kepengurusan itu, KPI membeli tanah seluas 50 Ha di Kampung Poncol, Desa Pantai Harapan Jaya, Kecamatan Muara Gembong, Bekasi, untuk pendidikan dan pelatihan (diklat) pelaut anggota KPI.
Hal ini didukung oleh Pemkab Bekasi dengan menerbitkan Peraturan Daerah. Dalam Perda No.2/1999 itu menetapkan tanah seluas 100 Ha di Muara Gembong diperuntukkan sebagai Kawasan Khusus untuk KPI membangun Kampus Diklat Pelaut.
Ketentuan ini kemudian diperkuat melalui Perda Pemkab Bekasi No.36/2001 dan Perda No.5/2003 tentang Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kab. Bekasi sebagai kawasan pendidikan KPI.
Sementara itu, kepengurusan KPI digugat oleh para pelaut anggota KPI yang berbuntut Munaslub KPI di hotel Cempaka Jakarta pada 7-9 April 2001 yang dibuka oleh Menteri Perhubungan. Selain didukung DPP KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), Munaslub juga didukung organisasi intrernasional ITF (International Transport Worker’s Federation).
Gugatan pelaut tersebut karena KPI di bawah pimpinan Iskandar dkk. dinilai tidak membela kepentingan pelaut tapi mengedepankan kepentingan pribadi.
Selain itu, Iskandar dan Harun masih berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) Ditjen Perhubungan Laut yang bukan berprofesi pelaut. Sehingga bertentangan dengan ketentuan internasional, yakni Konvensi ILO No.87/1948 dan No.83/1998 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, serta bertentangan dengan UU No.21/2001 tentang Serikat Pekerja/Buruh.
Karena itu, KPI yang tergabung dalam Federasi SPSI membubarkan kepengurusan Iskandar. Dalam Munaslub itu, Hanafi Rustandi terpilih sebagai Ketua Umum KPI, sedang Mathias Tambing sebagai Sekjen.
Selain Harun Let Let, kata Jaksa Maidarlis dalam dakwaannya, penggelapan 17 sertifikat tanah milik KPI juga melibatkan beberapa orang, antara lain Betty Harun (isteri terdakwa), Sifanda (isteri Iskandar) dan Faisal Harun. Mereka nanti akan dijadikan saksi di pengadilan.
Setelah Iskandar meninggal pada 24 Juli 2010, Harun minta Sifanda menyerahkan 17 sertifkat tanah (hak milik) kepada Faisal Harun. Penyerahan 17 sertifikat tanah berlangsung di rumah saksi Sifanda, Jl. Intan 1/63 Kel. Sumur Batu, Jakarta Pusat.
Menurut JPU, setelah digantinya Iskandar Ilahude dan Harun Let Let, seharusnya tanah di Kampung Poncol, Desa Pantai Harapan Jaya, Muara Gembong, itu dikembalikan kepada Pimpinan Pusat KPI Cikini, karena tanah tersebut dibeli menggunakan uang KPI yang diperoleh dari iuran para pelaut anggota KPI.
“Iskandar Illahude dan ahli warisnya tidak boleh mengalihkan dan/atau menjual tanah milik KPI di Muara Gembong, Bekasi,” tegas jaksa.
Ditambahkan, lahan yang dibeli KPI pimpinan Iskandar waktu itu seluas 50 Ha. Namun yang saat ini dijaga dan diamankan oleh KPI periode sekarang hanya seluas 21 Ha.
Senada dengan JPU, Ketua Umum KPI Prof. Mathias Tambing menegaskan, tanah di Muara Gembong itu milik organisasi (KPI) karena dibeli dari uang hasil iuran pelaut anggota KPI.
Tapi kenyataannya direkayasa oleh Harun, sehingga ke-17 sertifikat tanah hak milik itu menjadi atas nama pribadi oknum pengurus dan keluarganya.
Menurut Mathias Tambing, laporan kasus penggelapan tanah ke polisi itu sebagai tindak lanjut rekomendasi Munaslub yang meminta pengurus baru KPI segera mengurus dan mengembalikan hak milik tanah itu kepada KPI.
Atas dasar laporan itu, tambahnya, polisi kemudian melakukan penyelidikan yang dilanjutkan dengan penyidikan dan menetapkan Harun Let Let sebagai tersangka. Sejak 26 Februari 2019, Harun ditahan di Rutan Salemba dan selanjutnya penahanan diperpanjang oleh JPU.
Dalam sidang ke-3 tersebut, JPU minta majelis hakim menolak eksepsi (nota keberatan kuasa hukum terdakwa atas dakwaan JPU yang telah dibacakan pada sidang hari pertama.
Dalam eksepsinya kuasa hukum terdakwa menyatakan keberatan atas dakwaan JPU terhadap kliennya, dengan menyebutkan dakwaan JPU tidak cermat dan tidak jelas.
“Surat dakwaan dibuat berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik dengan menguraikan perbuatan yang dilakukan terdakwa sebenarnya berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan terdakwa. Sehingga alasan-alasan yang dikemukakan kuasa hukum terdakwa dalam ekskepsinya tidak beralasan,” sambung JPU seraya meminta majelis hakim menolak eksepsi kuasa hukum terdakwa.
Seusai menerima tanggapan eksepsi dari JPU, ketua majelis hakim menyatakan sidang akan dilanjutkan pada 26 Maret 2019 dengan agenda putusan sela. (sim)