Oleh Prof. Dr. Haryono Suyono
HARI ini dimulai Kampanye resmi untuk menyongsong hari H, tanggal 9 April 2014, di mana penduduk Indonesia yang berhak memilih akan berbondong-bondong pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menentukan pilihannya pada kader yang dianggap terpercaya. Kader yang terpilih bertanggung jawab merancang dan melaksanakan pembangunan di Indonesia. Mulai hari ini secara resmi berbagai cara untuk memperkenalkan diri kepada khalayak dan merebut simpati rakyat, dilakukan dengan gegap gempita. Ada yang langsung terang-terangan dan ada pula yang memakai cara soft dengan sopan dan rajin seakan tidak terlalu membutuhkan melalui perkenalan program yang akan dikembangkan untuk rakyat.
Ada juga yang mengandalkan track record kedua orang tuanya untuk meyakinkan bahwa keikutsertaan dalam kancah politik adalah karena sejak kecil sudah dididik atau terbiasa melayani rakyat banyak, sehingga secara naluriah terpanggil jiwanya mengikuti jejak kedua orang tuanya. Bahkan tidak jarang pada namanya dicantumkan dengan jelas nama orang tuanya yang mempunyai track record yang meyakinkan.
Pada umumnya para kader memperebutkan generasi muda yang usianya berkisar antara 17 – 64 tahun yang jumlahnya melebihi 65 persen dari penduduk Indonesia. GeneraSi itu pasti termasuk penduduk yang mempunyai hak pilih. Mereka adalah penduduk usia produktif yang sebagian besar bekerja di sektor jasa, industri, usaha besar dan kecil. Biarpun termasuk dalam kategori berhak memilih, pada beberapa Pilkada, terbukti yang datang ke tempat pemungutan suara hanya berkisar 60-70 persen, bahkan di beberapa daerah kurang dari jumlah itu.
Dari penduduk Indonesia yang dewasa ini berjumlah sekitar 250 – 255 juta, ada sekitar 8-9 persen berusia diatas 60 tahun. Hampir setengah dari jumlah penduduk lanjut usia itu tinggal di daerah pedesaan dan pasti berada pada usia yang berhak memilih. Jumlah yang hampir setengah itu pada umumnya mempunyai hak pilih dan tidak terlalu sibuk dibandingkan penduduk di bawah usia 60 tahun. Apalagi usia harapan hidup dewasa ini sudah berada pada angka 71 tahun sehingga penduduk lansia muda, yaitu penduduk di bawah usia 70 tahun, jumlahnya sekitar separuh dari jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia, suatu jumlah yang potensial tinggi.
Dalam kancah kegiatan kemasyarakatan di Indonesia, dengan adanya jaminan kesehatan yang dikemas oleh pemerintah melalui BPJS, penduduk lanjut usia muda itu jauh lebih sehat dibandingkan keadaanya di masa lalu. Penduduk lanjut usia itu merupakan potensi yang tinggi. Penduduk lanjut usia dewasa, yaitu penduduk usia antara 70 – 80 tahun, lebih dari setengahnya mampu berkiprah menjadi pemilih yang aktif. Mereka umumnya mempunyai anak, menantu dan kedua orang tua yang umumnya masih hidup atau setidak-tidaknya salah satu masih hidup. Tidak ada salahnya penduduk lanjut usia itu diajak ikut serta mensukseskan Pesta Demokrasi yang akan datang. Kehadiranya di tempat pemungutan suara bisa terjamin karena kesibukan sehari-hari relatif kecil.
Dari segi demografi, potensi lain yang perlu diperhatikan adalah kaum perempuan. Di semua provinsi, potensi kaum perempuan lebih dari 50 persen. Jumlah kaum perempuan di kursi legislatif dan eksekutif belum pernah mencapai jumlah itu tetapi kesadaran politik kaum perempuan karena kegiatan organisasi kemasyarakatan seperti PKK, keluarga wanita NU, Muhammadiyah, Posdaya dan lainnya sangat tinggi. Tidak jarang kaum perempuan dewasa ini, karena ketekunannya, telah menjadi penggerak ekonomi mikro keluarganya. Banyak keluarga di desa menempatkan kaum perempuan dalam kegiatan ekonomi mikro dengan fasilitas kredit mikro seperti Tabur Puja yang dapat dipinjam tanpa agunan. Melalui kesempatan itu kaum perempuan bisa menjadi pemilih terpercaya.
Faktor demografi lain yang perlu mendapat perhatian adalah kepadatan penduduk di masing-masing wilayah. Hampir pasti semua Dapil di Jawa Bali dan provinsi-provinsi tertentu mempunyai kepadatan penduduk yang signifikan dan perlu mendapat penanganan yang memadai. Jumlah penduduk di suatu kabupaten bisa lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk di suatu provinsi di daerah yang kepadatannya rendah. Karena itu penanganan untuk kabupaten seperti itu perlu mendapat perhatian yang seksama agar tidak timbul penyesalan dikemudian hari karena kemengangan suara di suatu daerah yang kepadatan penduduknya rendah tidak memberi nilai yang tinggi secara nasional.
Di samping adanya rumor politik uang, “wani piro”, di banyak daerah masih banyak penduduk dan rakyat Indonesia yang sangat mengidolakan calon dan tokoh yang menjajikan perubahan dan program atau kegiatan di masa depan yang lebih baik. Tidak sedikit yang mengharapkan diterapkannya program dan kegiatan yang menguntungkan rakyat banyak seperti di masa lalu. Mereka mendambakan program dan kegiatan yang tidak saja ditujukan kepada keluarga miskin atau disabilitas, tetapi biarpun miskin, banyak keluarga ingin dan bisa terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terasa ada kepuasan bisa menghasilkan sesuatu yang berharga untuk pembangunan bangsanya.
Daerah-daerah dengan partisipasi dalam bidang sosial yang tinggi tidak perlu harus dipaksa berpartisipasi melalui “proyek wani piro” karena sudah terbukti mempunyai kemampuan partisipasi dalam gerakan sosial politik yang tinggi. Kepada mereka perlu diberikan pancingan untuk meneruskan pembangunan berbasis partisipasi agar kepuasannya dalam gerakan politik juga makin mantab dan dinamis. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Yayasan Damandiri, www.haryono.com)