05/11/2025
Aktual

Menemukan Solusi Bersama Menuju IPPAT Tanpa Kisruh

 

 

JAKARTA (Pos Sore) — Forum Kajian Hukum & Demokrasi (FKHD) menggelar Diskusi Publik ‘Mengurai Masalah Kongres VII IPPAT untuk Menemukan Solusi Bersama Menuju IPPAT Tanpa Kisruh, Minggu (18/11), di Jakarta.

Diskusi Publik tersebut digelar dengan tujuan mencari titik temu, jalan keluar atas sengketa pasca Kongres VII Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Sebelumnya, pada 26 September 2018 sejumlah Anggota IPPAT melayangkan surat gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Kegiatan Diskusi Publik guna mencari solusi masalah internal IPPAT tersebut turut menghadirkan kedua belah pihak yang bersengketa dan pakar hukum, antara lain Dr Syafran Sofyan, SH., SpN, M.Hum sebagai Ketua Umum PP IPPAT Periode 2015-2018, Firdhonal, SH., MKN dari perwakilan Turut Tergugat IPPAT, Alvon Kurnia Palma, SH dari Kuasa Hukum Penggugat (Tim Advokat IPPAT), dan Harli Muin, SH.,MT.,MA pengamat hukum dan kelembagaan publik.

Keberatan sejumlah anggota IPPAT terhadap keputusan Kongres VII IPPAT di Makasar 27-28 Juli 2018 di Makasar memang telah bermuara ke pengadilan. Meski demikian upaya-upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, nampaknya tetap dilakukan.

“Saya masih ingat betul pada saat kongres di Makassar bagaimana agar pelaksanaan ini dapat terlaksana secara kondusif dan dilaksanakan secara kondusif dan transparan,” ujar Syafran Sofyan.

Sebagai Ketua IPPAT Periode 2015-2018, Syafran mengaku ada isu-isu terkait pelaksanaan Kongres VII IPPAT di Makasar. Menurutnya, meskipun kongres merupakan suatu keputusan tertinggi dalam organisasi, apabila terdapat konflik yang tidak dapat diselesaikan, maka bisa membawanya ke pengadilan.

Secara tidak langsung Syafran bisa memahami dan menerima langkah para anggota IPPAT yang membawa persoalan pasca Kongres VII IPPAT ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.   

Alasan keberatan atas hasil Kongres VII IPPAT di Makasar antara lain bahwa pada pelaksanaan pemilihan Ketua Umum, kongres diwarnai kejanggalan tentang jumlah total suara pemilih. Terdapat kelebihan surat suara di dalam kotak suara yang dihitung dengan jumlah total pemilik hak suara dalam kongres.

Selisih suara sebesar 320 dari daftar pemilih tetap pada saat pembukaan kongres untuk penghitungan quorum rapat berjumlah 3.787 suara. Dengan rincian formatur calon ketua umum 4212 suara, calon MKP (Majelis Kehormatan Pusat) 3892 suara. Artinya ada perbedaan jumlah suara pada saat memilih caketum dengan MKP yaitu sejumlah 425 suara tidak sah.

Permasalahan krusial lain misalnya terdapat anggota luar biasa yang seharusnya tidak mempunyai hak suara namun memberikan hak suara sama seperti anggota biasa.

Kemudian persoalan kartu tanda peserta kongres yang sama dengan anggota biasa, ada peserta atau pemilih ganda, serta proses pencoblosan suara yang melelahkan sehingga membuat suasana kongres tidak kondusif.

Kondisi itu menyebabkan salah satu pintu kaca di Ballroom Hotel Pour Point Makassar jebol akibat aksi saling mendorong antar peserta, bahkan beberapa peserta terjatuh akibat kekurangan oksigen.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut harusnya bisa diselesaikan pada saat itu juga dengan melakukan pemungutan suara ulang. Sayangnya Presidium Kongres memilih untuk langsung menetapkan hasil pemungutan suara yang sarat kejanggalan tanpa menindaklanjuti keberatan dari calon Ketua Umum yang lain. Dalam hal ini anggota IPPAT merasa hak memilih dan dipilih sebagai asas demokrasi telah dicederai.

“Kalau saya analogikan dalam mekanisme pemilihan umum, bagaimana daftar pemilih dapat diverifikasi untuk dapat dilaksanakan oleh pihak penyelenggara pemilihan, artinya pemilih yang mengikuti kongres harus ditetapkan dahulu,” terang Alvon, Kuasa Hukum Penggugat.

Pengacara Anggota IPPAT yang menggugat hasil kongres VII tersebut menegaskan apabila hasil pemungutan suara untuk pemilihan Ketua Umum tidak terpenuhi maka harus dilaksanakan putaran kedua.

“Kongres VII IPPAT di Makasar mendapat banyak kritik karena terkesan militeristik, senjata laras panjang masuk ke forum dengan posisi siap ditembakkan,” imbuh Alvon sembari menunjukkan video kericuhan Kongres VII IPPAT di Makasar.

Firdhonal sebagai salah satu pihak turut tergugat sebagai imbas dari sengketa pascakongres menegaskan, aturan main pelaksanaan kongres adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IPPAT.

Menurutnya, sebagai penyelenggara, kongres bisa dilaksanakan tanpa adanya kecurangan yang merugikan peserta lain. “Faktanya surat suara sudah cacat hukum, ada surat suara yang dibuat di Jakarta ada yang dibuat di Makasar,” ungkap Fidhonal.   

Dalam konteks penyelesaian konflik dan sengketa internal organisasi, Harli sebagai pengamat hukum dan kelembagaan publik menekankan pentingnya proses non-litigasi. Menurutnya, yang paling penting untuk membuka jalan bagi penyelesaian adalah kemauan untuk menyelesaikan perkara.

“Pertanyaannya, apakah para pihak bisa menciptakan kondisi lingkungan yang menjamin penyelesaian yang fair, sehingga bisa mengembangkan dan mengusulkan solusinya masing-masing,” kata Harli.

Sebelum anggota IPPAT melayangkan gugatan PMH ke PN Jakarta Barat, mereka berupaya menyelesaikan kisruh pascakongres VII di Makasar secara kekeluargaan. Termasuk meminta penyelesaian sengketa tersebut kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan kepada Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM pada Agustus lalu.

Gugatan PMH tersebut dirasa sesuai bagi Anggota IPPAT untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, lantaran hingga saat ini di dalam AD/ART IPPAT belum mengatur mekanisme penyelesaian masalah yang timbul karena Kongres. Sehingga dalam hal ini Pengadilan Negeri menjadi satu-satunya wadah yang berwenang dalam perkara sengekta pascakongres VII IPPAT.

Sebelumnya, sejumlah organisasi profesi hukum maupun beberapa partai politik nampaknya bernasib sama: terlibat perseteruan internal. Di kalangan Advokat, ada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang kini memiliki tiga Ketua Umum, atau dualisme organisasi di Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan bagi para Kurator serta Arbiter.

Beberapa Partai seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai HANURA mengalami hal yang sama, berseteru dan kemudian menempuh jalan penyelesaian di pengadilan.

Terlepas dari kisruh pada saat Kongres VII IPPAT di Makassar, masyarakat berharap sengketa di tubuh organisasi profesi segera berakhir dengan jalan penyelesaian musyawarah atau kekeluargaan. Menyelesaikan sengketa internal melalui persidangan di pengadilan akan cukup memakan waktu, menguras pikiran, biaya dan tenaga.

Untuk itu, Forum Kajian Hukum dan Demokrasi (FKHD) sebagai salah satu komponen masyarakat yang peduli dengan organisasi Pejabat Pembuat Akta Tanah, merasa perlu mendudukan para pihak dalam suatu forum diskusi publik yang elegan. Kemudian bersama-sama mencari kesepahaman, memitigasi konflik, menghindari dualisme organisasi dengan tetap mengedepankan prinsip kepastian hukum yang berkeadilan. (tety)

Leave a Comment