SEORANG ekonom , April tahun ini, menulis tentang BBM. Menurut pakar itu, subsidi BBM tak lagi sebatas membelenggu, merusak postur dan menambah ketidakpastian APBN, melainkan telah pula merongrong akun lancar (current account), membuat semu tingkat laju inflasi, menghambat diversifikasi energi yang ramah lingkungan, memicu penyeludupan BBM, dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang semakin tidak rasional. Pendek kata, subsidi BBM telah menjelma menjadi tumor ganas bagi perekonomian.
Berdasar pengalaman, kita yakin pendapat pakar ini tentulah tak perlu diragukan. Pendapat itu 100 persen benar. Semakin membengkaknya subsidi BBM sudah menjadi hantu menakutkan.
Masalah subsidi BBM ini menjadi fokus pembicaraan Presiden SBY dan presiden terpilih Joko Widodo pekan lalu di Bali. Tak sedikit kemudian yang berteriak — bahkan kalangan PDIP yang tadinya dikenal sangat anti pada kebijakan menaikkan harga BBM – mendesak pemerintahan SBY yang usianya tinggal dua bulan segera menaikkan harga BBM. Tapi toh, SBY bergeming.
Terlepas dari apa alasannya, keputusan SBY yang menolak desakan itu, patut dipahami. Kenyataan memang tidak mudah. Persoalannya persis seperti tubuh seseorang yang dihinggapi tumor ganas. Ketika akan dioperasi atau dibuang, bagian-bagian tubuh lainnya penuh dengan penyakit. Semisal hipertensi, gejala jantung, diabetes…dst. Operasi menjadi pilihan terakhir.
Itu sebabnya, kita bisa menyetujui pendapat politisi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, yang keberatan jika pemerintahan Jokowi kelak menaikkan harga jual BBM.
Hitung-hitungannya pasti. Setiap kenaikan harga jual BBM Rp 500.- / liternya, masyarakat butuh tambahan in come Rp65 ribu per bulan. Kenaikan sebesar itu akan menambah jumlah orang miskin sebanyak 1.525.000 orang. Juga menimbulkan inflasi sebesar 0,72 persen. Jika harga BBM dinaikkan sampai Rp 3000 per liternya, berapa pertambahan jumlah orang miskin di negeri ini? Apa yang terjadi pada perekonomian nasional dengan inflasi 4,32 persen?
Tersimpul, betapa rapuh dan sakit-sakitannya tubuh republik ini. Padahal, jika kita fokus ke jumlah orang miskin saja, baru beberapa pekan lalu PBB menyarankan perlunya Indonesia menaikkan batas garis kemiskinan (BGK) yang menjadi patokan penghitungan berapa jumlah orang miskin di negeri yang ijo royo-royo ini.
Sebagai illustrasi, hasil pengukuran UNDP yang dilaporkan dalam Human Development Report 2013 – dengan menggunakan patokan (BGK) versi UNDP – ditemukan tingkat kemiskinan di Indonesia pada 2012 mencapai 22,8 persen. Sementara versi pemerintahan SBY hanya 12,5 persen (tahun 2014 bahkan turun lagi menjadi 11,25 persen atau 28,28 juta orang).
Artinya, jika Indonesia benar-benar mau menggunakan GBK yang sesungguhnya sesuai petunjuk UNDP, jumlah orang miskin sebenarnya sangatlah banyak, bisa dua kali lipat. Bahkan jika berani menggunakan patokan BGK di negeri-negeri maju – toh pejabat kita sering tepuk dada menyamakan RI dengan negara-negara maju, masuk 10 besar ekonomi dunia – jangan-jangan mayoritas dari 250 juta penduduk adalah orang miskin.
Kalau demikian halnya, masihkah saat ini relevan desakan mencabut subsidi BBM? Toh dari Rp 2.019,9 triliun RAPBN 2015, subsidi energi hanya Rp363,5 triliun atau 17,99 persen. Kita paham, di balik kebijakan subsidi untuk rakyat itu, ada sejumlah penyakit yang perlu diobati. Tapi bukankah masih banyak yang bisa dihemat dari sektor lain yang anggarannya mencapai 82,01 persen?
Akan lebih bijak jika Presiden Jokowi mengubah mindset, dari meributkan besaran subsidi untuk rakyat ke arah upaya menggenjot penerimaan negara habis-habisan, dan melakukan efisiensi sebesar-besarnya. Kenapa ‘’kemewahan’’ yang dinikmati pejabat-pejabat dan birokrasi kita tak pernah diributkan?
Kerja keras, kerja keras, dan kerja keras. Itulah kuncinya. Itulah yang diharapkan makanya rakyat memilih Jokowi. Semoga. (***)