14/03/2025
Aktual Opini

Ma’ruf Digoyang, Ma’ruf Melawan

Oleh Tony Rosyid 

Politik dan Pemerhati Bangsa

Beberapa hari lalu ketua Ind Police Watch (IPW), Neta S. Pane meminta izin pers. Menyinggung kantor wapres agar dibersihkan dari orang-orang Jusuf Kalla.

Para pendukung Ma’ruf merasa tak nyaman, katanya. Orang-orang Jusuf Kalla menjadi penghambat interaksi keluarga dan para relawan dengan wapres.

Aneh! Sangat ganjil! Sulit diterima akal sehat! Orang Jusuf Kalla kuasi kantor wapres? Mereka hambat para pendukung Ma’ruf masuk? Lalu, apa kepentingan Jusuf Kalla kuasai kantor wapres?

Menjadi tidak aneh jika ungkapan Ma’ruf Amin dan para relawan yang disampaikan Neta S. Pane diimplementasikan sebagai manuver. Bukan kepada orang-orang Jusuf Kalla sebagai sasaran tembaknya. Tapi kepada Jokowi.

Buat apa jadi wapres kalau kelak ditulis oleh sejarah sebagai wapres terlemah karena hanya sebagai pelengkap konstitusi tanpa peran berarti … 

orang-orang Jusuf Kalla di kantor wapres hanya sebagai prolog. Tuntutan dan sasaran utamanya adalah Jokowi. Maka, dalam reservasi pers, disinggung soal perombakan kabinet dan posisi komisaris BUMN. Apa targetnya? Anggota peran Ma’ruf sebagai wakil presiden secara proporsional. Terutama dalam menyusun kabinet dan menempatkan orang-orang sebagai komisaris BUMN.

Publik tahu, peringkat wapres selama ini hanya sebagai pelengkap konstitusi. Nyaris tak ada peran signifikan. Bahkan media pun tidak memberi ruang yang proporsional. Bagaikan burung di sangkar emas, kata Neta. Bandingkan ketika Jusuf Kalla yang jadi wapres.

Nyaris seperti masa Orde Baru. Wapres hanya sebagai syarat konstitusional tanpa signifikansi peran. Hanya sesekali muncul di berita. Semua media didominasi berita tentang presiden. Presiden gendong cucu saja viral. Apalagi presiden marah-marah dan lempar bingkisan.

Wajar jika wapres dan para relawannya protes. Kenapa baru sekarang? Boleh jadi pertama, ada tekanan terhadap wapres akhir-akhir ini. Maksudnya, wapres sedang digoyang. Kemungkinan kedua, posisi presiden mulai melemah ketika dihadapkan pada ancaman krisis ekonomi. Disini, Ma’ruf punya peluang bergaining. Bahkan bisa lebih dari itu. Krisis ekonomi jadi pintu masuk.

APBN mengalami defisit. Diperkirakan hingga 6,72 persen dari PDB. Sekitar 1.028,6 T. Pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen. PLN rugi 38,87 T. Pertamina rugi 11,13 T. Harga minyak dunia turun tapi dijual dengan harga normal ke rakyat kok bisa rugi? Tanya Ahok bro. Mungkin gara-gara ngitungnya sambil merem. Nasib BUMN yang lain? Cari sendiri datanya! Terlalu panjang kalau ditulis. Yang pasti, sejumlah BUMN telah dijaminkan untuk infrastruktur infrastruktur. Ngeri-ngeri sedap.

Di sisi lain, gelombang protes rakyat mulai menyebar dan semakin masif. Muncul sekelompok kelompok. Diantaranya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan oleh tokoh berpengaruh dari berbagai elemen bangsa. Juga lahirnya “Anak NKRI” tak bisa dipandang sebelah mata. Gerakan 212 yang dikomandoi HRS, PA 212 dan GNPF Ulama juga masih terus eksis.

Protes Ma’ruf dan para relawannya adalah cara bergaining yang boleh jadi efektif, tapi tetap berisiko.

Efektif, jika kondisi ekonomi semakin memburuk. Apalagi upaya pemerintah kedekatan Bank Indonesia melakukan pembagian beban (cetak uang) belum ada tanda-tanda berhasil. Sementara kas negara kabarnya sedang bermasalah. Cari pinjaman luar negeri di masa pandemi juga tak mudah. Hampir semua ekonom di luar pemerintah memprediksi ekonomi bakal runtuh.

Manuver Ma’ruf Amin tetap berisiko, jika presiden nantinya berhasil mengatasi masalah yang kompleks, terutama ekonomi. Ma’ruf bisa lebih berhasil.

Terjun, terjun di dunia politik harus berani risiko. Dari hanya sebagai pelengkap konstitusi, pilihan untuk melawan jauh lebih rasional dan elegan. Rasional, karena wapres mesti punya peran. Elegan, peran ini akan ditulis sebagai referensi sejarah bangsa Indonesia.

Buat apa jadi wapres kalau kelak ditulis oleh sejarah sebagai wapres terlemah karena hanya sebagai pelengkap konstitusi tanpa peran berarti. Mundur atau melawan itu lebih terhormat.

Jakarta, 31 Agustus 2020

Leave a Comment