PENYELENGGARAAN nikah massal adalah suatu hal yang baik dan sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. Mungkin kita merasa terbantu oleh keterlibatan yayasan asing dalam hal pernikahan massal. Namun tanpa disadari, hal tersebut justru menunjukan kepada dunia bahwa untuk mendapatkan secarik kertas dan buku akte nikah saja masyarakat kita tidak mampu sehingga perlu diadakan nikah massal?
Sebelumnya diberitakan oleh banyak media, yayasan As-Shilah Indonesia bekerja sama dengan yayasan Syaikh Ied Al-Khoiriyah dari Qatar menggulirkan program nikah massal untuk 100 pasangan dari seluruh daerah di Indonesia. Program ini diperuntukkan bagi para muda muslim yang kurang mampu secara finansial untuk melaksanakan akad nikah.
Dengan adanyaam program seperti ini , para pemuda muslim pun merasa sangat terbantu dan dapat menjaga kehormatan mereka di zaman yang penuh fitnah semacam ini. Mereka berharap program seperti ini digalakkan untuk membantu para pemuda menghindari fitnah. Mungkin juga ada sebagian yang memilih menikah secara agama (nikah siri) untuk menghindarkan perbuatan dosa dengan membayar penghulu semampunya. Tapi bagaimana jika mereka tidak mampu juga untuk membayar penghulu sekalipun? Lalu mereka tetap hidup bersama? Bukankah berarti pemerintah secara tidak langsung memberi peluang “perzinahan”?.
Siapa yang “memaksa” mereka untuk melakukan hal tersebut? Siapa yang “bertanggungjawab”atas semua itu? Lalu bagaimana nasib anak –anak yang lahir? Mereka tidak akan mendapatkan akte kelahiran karena orang tuanya sendiri tidak punya akte nikah.
Sementara itu, bagi kaum hawa dalam hubungan nikah siri atau hidup bersama cenderung rentan kurang baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk anak – anak akan berakibat kesulitan untuk bersekolah karena tidak punya kelengkapan syarat – syarat yang diajukan oleh sekolah untuk terdaftar sebagai murid. Pada akhirnya mereka tidak akan bisa menikmati bangku sekolah, kemudian menjadi tidak terdidik, menjadi anak jalanan dan akan semakin berkurang generasi muda Indonesia untuk maju dan berkembang. Dan hal ini akan membuat masa depan mereka akan semakin suram, semakin sulit untuk memperbaiki hidup dan akan menambahkan daftar jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah untuk mempermudah administrasi dan biaya yang terjangkau, sehingga pemerintah tidak perlu lagi menyelenggarakan pernikahan massal diberbagai provinsi lainnya. Menurut saya, penyelenggaraan ini bukan hal yang membanggakan adanya keterlibatan pihak asing. Pernikahan massal tersebut bukan solusi akan berkurangnya masyarakat untuk nikah tidak resmi karena identik masyarakat kita yang `aji mumpung`. Bahkan, bukan pula kegotong – royongan antar lembaga atau masyarakat tapi lebih merupakan potret birokrasi urusan perkawinan yang berbelit –belit sekaligus potret kemiskinan masyarakat di sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam dan sekaligus kaya KORUPSI. Menyedihkan . . . ! (Yn/idas)