JAKARTA (Pos Sore) — Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kehutanan Kementerian Kehutanan San Afri Awang menegaskan, lahan gambut bukanlah lahan yang haram untuk dimanfaatkan.
Kajian iptek, kata dia, lahan gambut terbukti bisa dikelola secara lestari. Dia menyayangkan masih adanya kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa pengelolaan gambut akan merusak.
“Kami sudah membuktikan, gambut bisa dikelola. Bahkan pada lahan gambut yang sudah rusak, gambut bisa dimanfaatkan untuk budidaya, asal ipteknya tepat,” kata Awang di sela Dialog Tokoh Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) di Jakarta, Selasa (23/9).
Selain itu, Awang juga mengungkap Balitbang tidak merekomendasikan penetapan muka air paling rendah 0,4 meter sebagai indikator kerusakan gambut dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut).
“Balitbang tidak merekomendasikan penetapan muka air paling rendah 0,4 meter sebagai indikator kerusakan gambut dalam pembahasan RPP Gambut.”
Menurut Kepala Badan Litbang Kehutanan San Afri Awang, pihaknya merekomendasikan batas paling rendah untuk muka air gambut adalah 0,8 meter. Batasan tersebut mengacu kepada kajian ilmiah yang dibuat peneliti Belanda Hoijer.
“Batas bawah 0,8 meter masih memungkinkan tanaman keras yang dibudidayakan untuk hidup,” kata dia.
Awang menanggapi kontroversi pengesahan RPP gambut. Dalam ketentuan tersebut batas bawah muka air gambut ditetapkan 0,4 meter, jika tidak akan divonis rusak dan harus di konservasi. Ketentuan tersebut banyak menuai protes kalangan pengusaha kehutanan, perkebunan, dan akademisi.
“Batas bawah 0,8 meter masih memungkinkan tanaman keras yang dibudidayakan untuk hidup,” kata dia.”
Menurut Awang, batas bawah muka air 0,4 meter hanya cocok untuk budidaya tanaman semusim. Sementara untuk tanaman keras yang dibudidayakan seperti akasia, muka air tersebut akan membanjiri akar dan membuat pohon mati.
Sementara itu Staf Ahli Menhut bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim Yetti Rusli meminta agar semua pihak mengacu kepada kajian ilmiah untuk pengelolaan gambut.
“Peneliti-peneliti kita sudah membuktikan bahwa gambut masih bisa dikelola dengan baik meski ketebalannya lebih dari 3 meter,” katanya.
“Peneliti-peneliti kita sudah membuktikan bahwa gambut masih bisa dikelola dengan baik meski ketebalannya lebih dari 3 meter.”
Yetti menjelaskan, pengelolaan gambut bisa dilakukan dengan teknologi ekohidro yang mengatur tinggi muka air. Hal itu menjaga kelembaban gambut, mencegah terjadinya kebakaran, dan menjaga dari subsidensi.
Dia menegaskan, pengelolaan gambut adalah bagian yang tak terpisahkan dari pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan. “Lahan gambut yang terkelola dengan baik mendukung pengurangan emisi. Jadi pengelolaan gambut seharusnya didukung, jangan malah diganggu,” katanya.
Jangan Sahkan
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo meminta pemerintah tidak mengesahkan RPP gambut. Pasalnya, kata Firman, ada beberapa ketentuan dalam RPP tersebut tidak sejalan dengan Undang-undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
UU tersebut tidak mengatur soal kedalaman gambut. “PP merupakan peraturan turunan dari UU. Itu berarti PP tidak boleh mengatur hal-hal yang tidak ditentukan oleh UU,” kata Firman.
Sebaiknya ketentuan aturan kedalaman gambut cukup diatur masing-masing kementerian teknis sesuai kebutuhan.
Persoalan lain, kata Firman, penyusunan RPP tersebut tidak transparan karena tidak melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) dan para pakar dari akademisi seperti Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI).
Dia juga mengingatkan, pemerintahan yang akan berakhir untuk tidak memaksakan diri menerbitkan aturan itu. “Jika tetap diteken, PP tersebut ini bakal menjadi bumerang bagi pemerintahan baru karena tidak menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat dan dunia usaha. Akan banyak perkebunan rakyat dan industri kehutanan yang tutup,” kata Firman.(fent)