JAKARTA (Pos Sore) — Pakar pertanian Siswono Yudo Husodo mengungkapkan, saat ini pangan Indonesia sangat tergantung pada impor. Kenyataan ini menyebabkan Indonesia tidak memiliki kemandirian pangan. Prosentase impor terhadap kebutuhan pangan ini, Indonesia menduduki kondisi yang kritis.
Prosentase impor bawang putih dicatat sebesar 90%, kedelai 63%, susu 84%, garam 55%, beras 5%, daging sapi 20%, gandum 100%, dan gula 37%. Pada Desember 2017, angka impor barang konsumsi mencapai 1,37 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 18,49 triliun, tertinggi sepanjang sejarah untuk hitungan per bulan.
“Dan diperkirakan pada tahun 2020, Indonesia harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun,” ungkap mantan Menteri Menteri Negara Perumahan Rakyat 1988-1993 dan Menteri Transmigrasi 1993-1998), itu saat berbicara dalam Diskusi Panel Serial (DPS) 2017 – 2018 yang digelar pada Sabtu (7/4), di Jakarta.
Siswono menegaskan, untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia harus segera memperluas lahan pangan yang ada. Juga berhati-hati terhadap konspirasi asing yang ingin menguasai pertanian dan pangan Indonesia.
“Kita harus belajar dari kesalahan di masa lalu yang sekarang ini telah membuat Indonesia masuk dalam the food trap karena mendorong diversifikasi pangan ke arah yang salah dengan menempatkan gandum sebagai basis pangan alternatif,” tandasnya.
Sejak pemerintah membuka diri pada bantuan Amerika melalui PL-408 di awal tahun 70-an, secara bertahap bangsa ini menjadi bangsa pemakan gandum, padahal kita tidak bisa diproduksi sendiri.
Dalam kesempatan yang sama, Utusan Khusus Presiden Untuk Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar menyatakan, Indonesia perlu berhati-hati terhadap perubahan iklim di dunia. Hal ini karena pengaruh perubahan iklim mampu menjadi ancaman terhadap keutuhan wilayah nasional, keamanan nasional, dan Integritas Nasional.
“Dengan adanya perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu bumi misalnya, maka permukaan air laut menjadi meningkat yang memicu mundurnya garis pantai yang berakibat akan munculnya perselisihan tentang wilayah maritim dan akses ke zona ekonomi eksklusif,” terangnya.
Karena itu, Indonesia perlu segera melakukan langkah adaptasi terhadap perubahan yang sudah terjadi. Pendekatan adaptasi tersebut perlu dilakukan secara proaktif.
“Langkah adaptasi itu misalnya dilakukan dengan melaksanakan pembangunan ramah iklim yang mempertimbangkan potensi untuk membatasi dan mengurangi gas rumah kaca,” kata Rachmat Witoelar.
Sementara itu, Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, berpandangan, saat ini di Indonesia terjadi mismatch antara ketersediaan pangan dengan pertambahan penduduk.
Selain timbul karena masalah alamiah juga akibat kesalahan kebijakan pemerintah dan perbuatan masyarakat sendiri, yang dirasakan menjadi faktor dominan.
“Sudah seharusnya bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial, dapat merencanakan keseluruhan masalah tersebut dengan lebih terpadu, efektif, dan efisien. Sehingga bangsa ini mampu mengembangkan pola manajemen strategis yang mumpuni dan dapat menangani masalah-masalah tersebut tidak secara terfragmentasi,” kata Pontjo Sutowo.
Namun dalam kenyataannya, lanjut Pontjo, hal tersebut belum terjadi. Karena itu, sudah saatnya bangsa ini memikirkan adanya kebijakan yang lebih terpadu guna mengkristalisasikan lessons learned yang sudah diperoleh. (tety)