JAKARTA (Pos Sore) — Ketua Bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna menyambut positif kebijakan pemerintah yang akan menyerahkan perizinan pengelolaan hutan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
“Dengan demikian nantinya bisnis kehutanan lebih praktis karena cukup berhubungan dengan KPH,” katanya, pekan ini.
Namun Nana meminta pemerintah lebih mengoptimalkan sosialisasi pembentukan KPH tersebut. Pasalnya, lanjut dia, di daerah masih banyak yang menilai KPH ini sebagai cost center alias timbulkan beban ekonomi tambahan.
“Dengan demikian nantinya bisnis kehutanan lebih praktis karena cukup berhubungan dengan KPH.”
“Bahkan ada calon Kepala KPH (KKPH) yang keberatan kawasan hutan jadi KPH karena dinilai kewenangannya tak menguntungkan mereka. Kok calon KKPH begitu, tak miliki jiwa kewirausahaan,” kata Nana.
Sedianya, lanjut dia, calon KKPH miliki inovasi dalam mengembangkan hutan di tingkat tapaknya itu. Sehingga tujuan pengelolaan hutan lestari yang menyejahterakan rakyat terwujud.
Dijawab Dirjen Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kemenhut Bambang Hendroyono, KPH tidak akan menjadi cost center mengingat perizinan yang jauh lebih sederhana akan difokuskan unit pengelolaan ini.
“Penyederhanaan izin pengelolaan hutan sudah dimulai dan akhirnya bisa menekan ekonomi biaya tinggi karena semuanya dilakukan KPH. KKPH akan menggantikan posisi menteri, gubernur dan bupati. Nah 2020 nanti KPH ambil alih semua kebijakan Menteri Kehutanan,” tegas Bambang.
“Ada calon Kepala KPH (KKPH) yang keberatan kawasan hutan jadi KPH karena dinilai kewenangannya tak menguntungkan mereka. Kok calon KKPH begitu, tak miliki jiwa kewirausahaan.”
Kemenhut, kata dia, kini tengah menyiapkan revisi PP no.6/2007 jo. PP no.3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, dan peraturan turunannya.
Revisi akan difokuskan pada penyempurnaan pembentukan KPH semisal kejelasan pembagian KPH, atau regulasi bisnis pemerintah dan swasta.
Terkait pengelolaan hutan oleh KPH, lanjut Nana Suparna, APHI meminta pemerintah melakukan rasionalisasi pungutan kehutanan dan mengkaji PP no 12 tahun 2014 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Menurut dia, pengkajian tersebut mendesak dilakukan karena dalam PP itu hampir semua jenis pungutan kehutanan naik, padahal kondisi industri Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), baik hutan alam maupun HTI sebagian besar tidak aktif karena berbagai permasalahan yang dihadapi.
“Jika PP tersebut diberlakukan hampir dapat dipastikan akan makin banyak IUPHHK yang tidak akan bisa aktif,” kata dia.
Selain itu, tambahnya, ada tambahan jenis pungutan baru yaitu penggantian nilai tegakan (PNT).
Jika semua pungutan tersebut dijumlahkan, menurut dia, nilainya akan lebih besar dari harga jual kayu bulat kecil (KBK), belum lagi biaya produksinya, sehingga dikhawatirkan menghambat IUPHHK-HT yang sedang dan akan berkembang. (fent)