DEPOK – Angota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menegaskan pihaknya akan terus menindaklanjuti penanganan kasus siswi di salah satu SD swasta di kawasan Bojonggede, kabupaten Bogor, yang diduga mengalami kekerasan di sekolahnya.
Tim KPAI sendiri pada Jumat (1/2) kemarin telah mendatangi sekolah dimana GNS (10) bersekolah. Tim juga telah mengklarifikasi tentang perintah melakukan push-up 100 kali karena yang bersangkutan belum bisa melunasi uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).
“Karena hukuman yang diberikan pihak sekolah tersebut GNS mengalami trauma berat dan tidak mau datang lagi ke sekolah,” kata Retno sesuai rilis yang dikirim ke redaksi PosSore, Sabtu (2/1).
Komisioner KPAI ini mengungkapkan, kasus sekolah swasta melakukan kekerasan fisik dan kekerasan psikis pada anak bukan kejadian pertama, modus serupa pernah beberapa kali terjadi dan diadukan ke KPAI.
Ia menyebut contoh ada sekolah yang membuat ketentuan jika belum melunasi SPP, saat Ujian Akhir Semester (UAS) siswa tersebut mengerjakan soalnya di lantai, ada juga ketentuan dimana anak-anak yang masih menunggak di pisahkan ruangan dari siswa lain yang sudah lunas. Bahkan ada yang tidak diperkenankan ikut UAS dan disuruh pulang ketika mencoba datang ke sekolah.
Kasus-kasus tersebut jelas Retno, mencerminkan bahwa banyak sekolah swasta yang tidak memahami Undang-Undang Perlindungan Anak. Banyak guru dan kepala sekolah yang tidak menyadari bahwa sanksi yang mereka buat untuk anak-anak yang menunggak bayaran sesungguhnya adalah bentuk kekerasan fisik dan atau kekerasan psikis dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak peserta didik terutama pemenuhan hak atas pendidikan.
Oleh karena itu, pihak sekolah, kepala sekolah dan para guru harus diberikan pemahaman terhadap hak-hak anak dan kewajiban sekolah melindungi anak-anak selama berada di sekolah sebagaimana diatur dalam pasal 54 UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Sebetulnya yang memiliki kewenangan melakukan semua ini adalah Kemendikbud dan Dinas-dinas pendidikan di daerah, serta Kemenag dengan kanwil-kanwil di berbagai daerah,” jelas Retno.
Retno berharap ada sanksi tegas bagi sekolah yang terbukti melakukan pelanggaran hak anak karena wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah sudah seharusnya didukung semua pihak termasuk sekolah-sekolah swasta yang juga mendapatkan bantuan dana BOS dari APBN.
Berkaitan dengan kasus GNS, KPAI akan melakukan koordinasi dengan pihak Dinas Pendidikan kabupaten Bogor dan Kota Depok terkait kelanjutan pendidikan ananda. Selain itu KPAI juga telah melakukan koordinasi lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberyaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan dengan Dinas PP-PA Kota Depok, mengingat ananda secara administrasi bertempat tinggal di wilayah Kota Depok, namun lokasi sekolah masuk wilayah kabupaten Bogor.
Retno juga menegaskan sudah dilakukan kunjungan ke rumah korban, namun korban belum bersedia diajak bicara, sehingga pihak P2TP2A Kota Depok hanya bisa mewawancarai kakak dari korban. Tim P2TP2A Depok akan kembali lagi ke rumah korban agar bisa melakukan assessment awal terhadap ananda untuk menentukan program pemulihan psikologis kedepannya. (emf)