13.6 C
New York
14/10/2025
AktualEkonomi

Kian Sulit Salurkan Beras, Perum Bulog Terancam Bangkrut

Diskusi Bantuan Pangan Non Tunai dan Efektivitas dan Stabilisasi Harrga Pangan diselenggarakan Forum Wartawan Bulog bekerjasama dengan RRI Jakarta

 

POS SORE – Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori mengungkapkan Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) saat ini terancam bangkrut jika pemerintah tidak segera mengubah kebijakan program penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang saat ini dikelola Kementerian Sosial.

Khudori menegaskan, Bulog sangat membutuhkan solusi segera agar bisa menyalurkan berasnya ke pasar. “Keuangan Bulog saat ini juga sangat rentan. Sangat potensial untuk bangkrut kalau tidak ada solusi segera,” kata Khudori usai diskusi yang diadakan Forum Wartawan Bulog (Forwabul) bekerjasama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta, Kamis (12/12).

Dalam tiga tahun terakhir, jelas Khudori, sebetulnya Bulog telah mengalami kesulitan menyalurkan beras lantaran ada perubahan kebijakan dari beras sejahtera (rastra) atau yang dikenal sebagai beras miskin (raskin) menjadi BPNT. Dalam program tersebut, bantuan pangan diterima dalam bentuk non tunai yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM).

Penyaluran komoditas BPNT sendiri dilakukan melalui e-warong – e-warong yang bekerja sama dengan bank. KPM dapat bebas memilih membeli komoditas yang diinginkan, seperti beras, minyak, atau telur. Kondisi ini membuat jalur penyaluran Bulog semakin sempit apalagi dihadapkan harus bersaing dengan pemasok beras swasta dalam program pengadaan bantuan sosial tersebut.

Menjawab adakah mekanisme tercepat mengubah kebijakan BPNT? Secara diplomatis Khudori menjawab bahwa pihaknya khawatir jika para petani sampai turun ke jalan. “Yang saya khawatirkan justru jika para petani ini sampai demo karena hasil panennya hanya numpuk di rumah tak terserap,” katanya.

Secara terpisah, Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional, Winarno Tohir juga mengungkapkan kecemasannya terkait kebijakan program BPNT. Pergantian dari Raskin/Rastra ke BPNT ini justru membuat serapan gabah petani oleh Bulog jadi kecil. Padahal program Raskin/Rastra diperlukan untuk memproteksi pangan rakyat.

“Kalau Raskin/Rastra dihilangkan jelas akan berdampak pada petani produsen padi yang jumlahnya menjapai 36 juta KK. Dan pastinya hal itu bertentangan dengan keinginan negara untuk berdaulat pangan karena petani padi tak lagi ada jaminan pembelian oleh pemerintah melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP) saat produksi melimpah,” katanya.

Winarno menegaskan jika Raskin/Rastra tak ada, maka Bulog tak akan membeli gabah petani. Akibatnya harga akan terjun bebas meskipun Bulog hanya menyerap sekitar 8% dari total produksi nasional yang 70 juta ton gabah kering giling (GKG).

Dampak ikutannya, minat petani akan turun untuk menanam padi hingga akan berdampak pada program kedaulatan pangan. “Jika ini terjadi Indonesia akan tergantung pada impor beras yang kian lama jumlahnya kian besar. Dengan perkataan lain jangan pernah berharap lagi ada swasembada, kedaulatan ataupun ketahanan pangan,” tegas nya.

Bagaimana ini bisa terjadi? Menurut Winarno Tohir karena harga beras nantinya mengikiti mekanisme pasar, dan petani Indonesia akan kalah bersaing dengan petani ASEAN yang telah dilindungi oleh negaranya dengan subsidi. Inilah yang membuat harga beras dari luar negeri lebih murah dari beras Indonesia.

Winarno berharap program Raskin/Rastra dikembalikan lagi ke Bulog. Atau kalau tetap mau pakai BPNT, Bulog yang menyiapkan berasnya. Bagaimanapun KPM yang 16,5 juta jiwa itu masih tetap memerlukan Raskin/Rastra. (aryo)

 

Leave a Comment