05/11/2025
Opini

Ketika Perang Dagang Trump Justru Melukai Amerika Sendiri

Oleh: Maghfur Ghazali

(Penulis adalah dosen tetap pada Program Pendidikan Komunikasi Penyiaran Islam Isnsitut Attaqwa KH Noer Alie — IAN), Bekasi)

“Perang dagang itu baik dan mudah dimenangkan.” Begitu ucap Donald Trump saat memulai kebijakan tarif tinggi terhadap berbagai negara, terutama Tiongkok, pada tahun 2018. Ia merasa strategi ini akan membawa Amerika Serikat ke puncak dominasi ekonomi global. Tapi waktu menunjukkan hal sebaliknya: perang dagang justru menjadi senjata makan tuan.

Trump percaya bahwa dengan menekan negara lain lewat tarif, mereka akan berbondong-bondong datang untuk bernegosiasi ulang. Beberapa negara mungkin melunak. Tapi Tiongkok memilih melawan. Mereka menaikkan tarif terhadap produk-produk utama AS seperti kedelai, jagung, otomotif, hingga barang elektronik. Efeknya terasa nyata di jantung perekonomian Amerika.

Menurut analisis Federal Reserve Bank of New York, Mary Amiti,  Stephen J. Redding (Princeton University), dan David E. Weinstein (Columbia University) perang tarif ini menambah beban sekitar $831 per rumah tangga Amerika per tahun. Harga barang-barang konsumsi meningkat, dari elektronik hingga kebutuhan rumah tangga. Apple, misalnya, harus merevisi harga karena rantai produksinya yang sangat bergantung pada Tiongkok terkena dampak langsung.

Dalam studi mereka yang dipublikasikan melalui blog Liberty Street Economics pada Mei 2019, mereka memperkirakan bahwa kenaikan tarif terhadap barang-barang impor dari Tiongkok akan menambah beban biaya sebesar $831 per tahun bagi setiap rumah tangga di AS.

Perhitungan tersebut mencakup dua komponen utama: pertama, pembayaran tarif tambahan sebesar $211 per rumah tangga per tahun; kedua, kerugian efisiensi ekonomi atau “deadweight loss” sebesar $620 per rumah tangga per tahun. Deadweight loss terjadi ketika perusahaan-perusahaan AS mengalihkan sumber impor dari Tiongkok ke negara lain yang mungkin kurang efisien, sehingga meningkatkan biaya produksi dan distribusi

Dampak dari tarif ini tidak hanya dirasakan oleh rumah tangga, tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Apple. Karena banyak komponen produk mereka diproduksi di Tiongkok, kenaikan tarif menyebabkan peningkatan biaya produksi yang signifikan. Sebagai respons, perusahaan-perusahaan tersebut menghadapi dilema antara menaikkan harga produk di pasar domestik atau menyerap biaya tambahan tersebut, yang keduanya dapat mempengaruhi profitabilitas dan daya saing mereka.

Secara keseluruhan, kebijakan tarif yang diterapkan selama pemerintahan Trump menunjukkan bahwa proteksionisme dapat membawa konsekuensi ekonomi yang luas, tidak hanya bagi perusahaan besar tetapi juga bagi konsumen biasa. Kenaikan harga barang konsumsi, penurunan daya beli, dan gangguan pada rantai pasok global menjadi beberapa dampak nyata yang dirasakan akibat kebijakan tersebut.

Di sisi lain, petani Amerika mengalami pukulan telak. Pasar ekspor ke Tiongkok ambruk. Pemerintah AS bahkan harus merogoh kocek hingga $28 miliar untuk mensubsidi para petani yang kehilangan pasar. Namun ini bukan sekadar soal angka. Daya beli masyarakat menurun, ketidakpastian bisnis meningkat, dan ribuan tenaga kerja terancam kehilangan pekerjaan karena perusahaan mulai mengurangi produksi atau relokasi.

Presiden Xi Jinping pun sempat menyindir dengan pernyataan yang mengena: “Jika negara lain menganggap Tiongkok hanyalah kolam kecil, itu kesalahan besar. Tiongkok adalah samudra. Apa pun yang terjadi di samudra akan mempengaruhi dunia.” Dan benar saja. Getaran dari perang dagang ini terasa sampai ke Indonesia.

Sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas, Indonesia ikut terdampak ketika dua raksasa ekonomi dunia saling sikut. Permintaan Tiongkok terhadap batu bara dan sawit sempat melambat karena stok menumpuk. Harga komoditas di pasar dunia terguncang. Investor pun mulai bersikap wait and see terhadap negara berkembang, membuat nilai tukar rupiah tertekan.

Artinya, ketika Amerika Serikat dan Tiongkok terlibat dalam perang dagang, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh kedua negara, tetapi juga menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu mitra dagang utama Tiongkok, Indonesia turut merasakan tekanan akibat perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu.

Permintaan Tiongkok terhadap komoditas unggulan Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit sempat menurun tajam. Hal ini disebabkan stok yang menumpuk akibat penurunan ekspor ke Amerika. Akibatnya, harga komoditas di pasar global ikut terguncang dan mempengaruhi pendapatan negara-negara eksportir, termasuk Indonesia.

Kondisi global yang tidak menentu juga membuat para investor asing bersikap hati-hati. Mereka menahan investasi ke negara-negara berkembang karena melihat tingginya risiko akibat ketegangan geopolitik dan ekonomi. Akibatnya, nilai tukar rupiah sempat tertekan karena aliran modal asing keluar dari pasar keuangan domestik.

Per hari ini Rabu16 April 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berada di kisaran Rp16.800 hingga Rp16.850 per dolar AS.Menurut data dari CNBC Indonesia, rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,24% pada hari tersebut, mencerminkan tekanan yang masih berlanjut di pasar valuta asing.

Perkembangan nilai tukar rupiah ini mencerminkan betapa eratnya keterkaitan ekonomi global dan bagaimana kebijakan proteksionis di satu negara dapat berdampak luas ke negara lain. Indonesia perlu terus memantau dinamika global dan menyesuaikan strategi ekonominya untuk menjaga stabilitas makroekonomi di tengah ketidakpastian global.

Di tengah situasi itu, Indonesia harus menavigasi ulang strategi dagangnya. Pemerintah mulai mendorong diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara nontradisional, tapi tetap saja, gangguan di dua ekonomi terbesar dunia tak bisa dihindari. Perang dagang memberi pelajaran penting: dunia hari ini terhubung terlalu dalam untuk dipecah dengan tarif tinggi dan ego sepihak. Yang bertahan bukan yang paling kuat suaranya, tapi yang paling cerdas membaca arah. **

 

Leave a Comment