04/11/2025
AktualEkonomi

Ketika Kriya Bicara Martabat: Kisah Abdul Sobur dan Napas Panjang Industri Kreatif Indonesia (2)

Sobur menyebutnya “karya yang punya jiwa.” Karena baginya, kriya bukan sekadar benda, melainkan representasi dari keindahan, sejarah, dan cara hidup bangsa. Di luar dunia usaha, nama Abdul Sobur juga besar di ranah organisasi. Sejak lama, ia aktif membangun jejaring antar pelaku industri.

Ia pernah menjadi pengurus ASMINDo, kemudian Sekretaris Jenderal AMKRI, dan sejak 2016 menjadi bagian dari Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Kepercayaannya menguat ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum HIMKI pada 2020—sebuah amanah yang ia jalankan dengan visi besar: menjadikan Indonesia bukan hanya produsen, tetapi juga sumber nilai bagi industri furnitur dan kerajinan dunia.

Di bawah kepemimpinannya, HIMKI tak hanya berfokus pada ekspor, tetapi juga pada penguatan ekosistem kreatif di dalam negeri. Ia mendorong kolaborasi antara pelaku besar dan UMKM, memperkuat pendidikan desain, serta mengajak para pengrajin untuk memahami pentingnya branding dan diferensiasi produk. “Kalau kita ingin dihargai, kita harus tahu cara bercerita,” ujarnya. “Tanpa narasi, dunia hanya melihat kita sebagai pabrik murah. Dengan narasi, kita menjadi sumber nilai.”

Gagasan itu dituangkannya dalam refleksi mendalam tentang “pelajaran dari Hermès, Louis Vuitton, Rolex, dan Patek Philippe.” Ia melihat empat merek tersebut bukan sekadar raksasa mode dunia, melainkan simbol bagaimana nilai dan makna bisa menjadi benteng terakhir di tengah arus globalisasi dan imitasi massal.

“Mereka tidak menjual produk, mereka menjual makna,” tulisnya. “Tas, jam tangan, atau kotak perhiasan hanyalah benda fungsional. Tapi ketika maknanya kuat, ia berubah menjadi simbol martabat.”

Sobur menekankan bahwa kunci bertahannya industri kreatif bukan pada kemampuan membuat lebih banyak dan lebih murah, melainkan pada keberanian menjaga kelangkaan dan eksklusivitas. Ia menyebut istilah yang melekat di kepalanya: Ubiquity kills luxury. Sesuatu yang terlalu mudah didapat, katanya, akan kehilangan nilai.

Visi itu ia bawa dalam setiap langkah HIMKI. Ia ingin pelaku industri kreatif di Indonesia tidak hanya meniru tren global, tapi mampu membangun posisi—bahwa karya dari Jepara, Bali, atau Bandung punya karakter dan keunikan yang tak tergantikan. “Kita tidak perlu melawan produk tiruan dengan harga lebih rendah,” katanya, “kita harus melawannya dengan nilai yang lebih tinggi.”

Leave a Comment