JAKARTA, PosSore – Di sebuah bengkel kecil di Jepara, seorang pengrajin tua mengelap keringat di dahinya sambil memeriksa ukiran terakhir sebelum dikirim ke pelanggan di Amsterdam. Sudah tiga generasi keluarganya menghidupkan kayu jati menjadi karya bernilai tinggi. Tapi hari ini, ada yang berbeda: dokumen karantina menumpuk di meja kerjanya.
“Ini kayu sudah jadi meja, bukan batang pohon. Kenapa harus diperiksa lagi?” keluhnya.Cerita itu bukan sekadar keluhan lokal. Ia menggambarkan kegelisahan seluruh industri mebel dan kerajinan Indonesia yang kini berhadapan dengan Peraturan Badan Karantina Nomor 5 Tahun 2025—kebijakan yang disebut Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) sebagai “rintangan tak terduga” bagi ekspor.
Abdul Sobur, Ketua Umum HIMKI, tak menyembunyikan kekecewaannya. “Ini memang seperti memaksa seorang pelukis untuk mengurus izin menebang pohon setiap kali akan membuat kanvas,” ujarnya. Aturan yang mewajibkan produk jadi seperti mebel ukir dan kerajinan rotan melalui proses karantina yang sama dengan bahan mentah dinilai mengabaikan esensi industri kreatif. Padahal, produk-produk ini telah melalui proses panjang pengolahan, dari pengeringan bahan baku hingga finishing bernilai seni tinggi.
Ironinya, kebijakan ini muncul di saat pemerintah gencar mempromosikan ekonomi kreatif sebagai tulang punggung baru ekspor nasional. Data terakhir menunjukkan, sektor mebel dan kerajinan menyumbang devisa hingga USD 4,2 miliar pada 2024, dengan pertumbuhan stabil di atas 10% per tahun. Namun, dengan aturan baru yang memberlakukan biaya sertifikasi berlapis dan prosedur berbelit, angka itu terancam menyusut. “Buyer internasional tidak akan menunggu. Mereka akan beralih ke Vietnam atau Malaysia yang lebih efisien,” tegas Sobur.
Keluhan tidak hanya datang dari eksportir besar. Para pengrajin kecil di sentra-sentra produksi seperti Jepara, Cirebon, atau Bali merasakan betul beban ini. Seorang pengusaha mebel di Jawa Tengah mengaku harus mengeluarkan biaya tambahan hampir 15% hanya untuk memenuhi persyaratan karantina. “Padahal, kayu yang kami gunakan sudah melalui proses pengolahan selama berbulan-bulan. Ini seperti memeriksa nasi yang sudah matang seolah-olah masih beras,” keluhnya.
Tidak hanya biaya, waktu pengiriman pun molor. Padahal, dalam bisnis ekspor, ketepatan waktu adalah nyawa. Sebuah order mebel bernilai miliaran rupiah dari Eropa hampir batal karena barang terjebak pemeriksaan karantina selama tiga minggu. “Buyer mengancam cancel kontrak jika ini terjadi lagi. Kami kehilangan kepercayaan,” ujar seorang eksportir yang enggan disebutkan namanya.
MENCARI JALAN KELUAR
HIMKI tidak sekadar mengkritik. Mereka menawarkan solusi konkret. Pertama, penundaan implementasi peraturan hingga ada mekanisme yang benar-benar memahami karakteristik industri kreatif. Kedua, pengecualian bagi produk jadi yang telah melalui proses manufaktur lengkap. Ketiga, harmonisasi kebijakan antar-kementerian agar tidak saling berbenturan.
“Kami ingin duduk bersama pemerintah untuk mencari titik tengah. Jangan sampai niat melindungi justru berujung pada kematian industri,” kata Sobur. Ia menekankan, yang dibutuhkan pelaku usaha bukanlah deregulasi, tetapi regulasi yang cerdas—kebijakan yang mampu membedakan antara kayu gelondongan dengan kursi ukir bernilai seni tinggi.
Persoalan ini bukan hanya urusan HIMKI atau pelaku industri. Hilangnya daya saing ekspor akan berimbas pada lapangan kerja dan pendapatan negara. Sobur menyerukan keterlibatan semua pihak: “Media, akademisi, dan masyarakat harus bersama-sama mengawal kebijakan ini. Kita tidak boleh diam saat warisan budaya dan ekonomi kreatif kita terancam.”
Pertanyaannya kini: akankah pemerintah mendengar suara dari bawah sebelum kerusakan semakin dalam? Atau kita akan menyaksikan lagi sebuah ironi, di mana kebijakan yang dibuat untuk melindungi justru menjadi batu sandungan? Seperti diketahui HIMKI adalah organisasi yang mewakili 5.000+ pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia, dengan kontribusi ekspor mencapai USD 4,2 miliar pada 2024. (aryodewo)