Oleh Ramly Amin
(Bagian akhir dari dua tulisan)
“Saya berharap, 33 tahun lagi, di saat ulang tahun Republik Indonesia yang keseratus, korupsi tidak ada lagi di Indonesia.
Semoga saat itu kita berkata: Apa itu korupsi? Korupsi itu benda di zaman purba!” (Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi,
Abraham Samad, pada acara Youth Camp di Ciawi sebagaimana dikutip detikcom, Selasa, 9/10/2012).————
BETAPA korupsi disebut sebagai perbuatan yang melampauai akal sehat, juga dapat disimak dari data bahwa lebih separuh
dari jumlah seluruh gubernur kepala daerah, dan 158 bupati/walikota ( hampir sepertiga dari jumlah seluruh bupati/walikota) tersangkut korupsi. Mereka ini adalah pejabat-pejabat negara yang gaji dan tunjangan hidupnya sudah lebih dari cukup, belum termasuk segala fasilitas yang ada.
Begitu pun, mimpi Abraham Samad tidaklah dapat dikatakan salah sepenuhnya. Namun mimpi itu baru bisa dikatakan bukan mustahil menjadi — paling tidak mendekati – kenyataan, sejauh kondisi yang tercipta di negeri ini memenuhi berbagai hal yang disyaratkan sebuah negeri yang bebas (baca: minim) korupsi. Yaitu kondisi yang transparan, akuntabel, dan memberi ruang yang luas untuk partisipasi masyarakat. Inilah kondisi ideal yang menggambarkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
UU KIP Tak Menekankan Punishment
Kondisi inilah yang dicita-citakan Undang-undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Kendati harus digarisbawahi, bahwa UU KIP tak ada kaitan langsung dengan pemberantasan korupsi – karena tidak didisain dalam konteks penegakan hukum yang menekankan punishment sebagai unsur terpenting — tapi undang-undang ini dapat dikatakan sebagai sebuah karya besar bangsa karena mencita-citakan gambaran sebuah negeri yang ideal, yang – katakanlah 33 tahun lagi dari sekarang – bukan mustahil terjadi sejauh para stake holders betul-betul melaksanakannya.
Dalam praktik selama tiga tahun sejak efektif diberlakukan 30 April 2010, UU KIP memang sering disalahartikan, seolah undang- undang ini akan menjadi alat untuk membongkar borok-borok korupsi di badan-badan publik negara, seolah undang- undang ini bisa dijadikan alat untuk membongkar segala bentuk penyelewengan di tubuh pemerintahan melalui lembaga-lembaga birokrasi yang ada. Padahal UU KIP justru bertujuan lebih mulia dari itu, yaitu ingin menciptakan kondisi yang mencegah setiap orang berniat melakukan korupsi.
Lagi pula, yang perlu digarisbawahi adalah, selama dua setengah tahun KI Pusat menangani sengketa informasi, tak satu sengketa pun (dari 179 sengketa yang diselesaikan melalui meadiasi maupun ajudikasi) yang kemudian berujung kepada pembongkaran kasus korupsi. [1] Paling tidak hingga memasuki penghujung tahun 2012 belum pernah ada informasi atau pun laporan bahwa informasi yang disengketakan di KI Pusat kemudian terbukti sangat erat kaitannya dengan terbongkarnya kasus korupsi.
Dengan menciptakan kondisi serba transparan sebagai salah satu tujuan akhir UU KIP, para pejabat publik pun diingatkan untuk tidak coba-coba melakukan penyimpangan, baik itu percobaan penyimpangan yang berasal dari dalam tubuh badan publik itu sendiri maupun percobaan penyimpangan yang datang dari luar badan publik karena tekanan politik.
Selain ingin menciptakan keadaan yang serba preventif (terjemahan dari Pasal 3 butir d UU KIP), UU KIP juga mendorong keingin tahuan anggota masyarakat terhadap proses pengambilan kebijakan publik, terutama yang terkait dirinya sendiri. Yang terakhir ini dapat diisimak dari kasus-kasus sengketa informasi yang ditangani Komisi Informasi, seperti permintaan informasi oleh seorang calon mahasiswa tentang alasan tidak lulusnya dirinya setelah mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri, permintaan informasi tentang alasan tidak lulusnya 17 calon PNS daerah di Kota Medan, alasan tidak bisa didapatkannya informasi tentang tanah milik pribadi, dlsb. Dalam kaitan ini bahkan seorang PNS di sebuah kementerian berani memperkarakan atasannya ke Komisi Informasi ketika informasi tentang penilaian terhadap dirinya tidak diberikan, yang berujung perdamaian kedua pihak.
Cita-Cita Good Governance Masih Jauh
Diberlakukannya UU KIP di satu sisi mendorong masyarakat berpartisipasi. Di sisi lain mewajibkan Badan-Badan Publik terutama Badan Publik negara untuk terbuka melalui penyediaan informasi, baik diminta maupun tidak diminta. Semua urusan tata pemerintahan seperti kebijakan-kebijakan publik, baik yang berkenaan dengan pelayanan publik, pengadaan barang dan jasa, penyusunan anggaran dlsb, harus dapat diketahui oleh publik.
Sayangnya, hingga memasuki penghujung tahun ketiga UU KIP diberlakukan, capaian terhadap cita-cita good governance masih jauh dari yang diharapkan. Data Kementerian Kominfo menunjukkan, per 31 Juli 2012 dari 163 badan publik negara, baru 59 badan publik yang telah memiliki Pejabat Pengeloa Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dari 33 provinsi, baru 16 yang telah memiliki PPID, dan dari 497 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, baru 73 yang telah memiliki PPID. Data lain, dari Komisi Informasi Pusat: hingga akhir Oktober 2012 dari 33 provinsi, baru 19 yang sudah membentuk Komisi Informasi Provinsi.
PPID adalah salah satu indikator kesiapan Badan Publik melayani permintaan informasi dari masyarakat. Demikian halnya Komisi Informasi Provinsi, menjadi salah satu indikator kesiapan daerah menyelesaikan sengketa informasi. Ada baiknya, para pemimpin negeri, mulai dari yang teratas sampai tingkat bawah, pusat dan daerah, melakukan introspeksi diri apakah sudah serius menjalankan tuntutan keterbukaan informasi demi sebuah tujuan mulia, good governance. Karena hanya dengan itulah mimpi Abraham Samad dapat terwujud. Walau perlahan, tapi pasti (Penulis, Pemred Pos Sore/ mantan anggota Komisi Informasi Pusat/KIP)