Oleh Ramly Amin S
“Saya berharap, 33 tahun lagi, di saat ulang tahun Republik Indonesia yang keseratus, korupsi tak ada lagi di Indonesia. Semoga saat itu kita berkata: Apa itu korupsi? Korupsi itu benda di zaman purba!” (Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad, pada acara Youth Camp di Ciawi sebagaimana dikutip detikcom, Selasa, 9/10/2012). ———————————————–
IBARAT petani yang berharap hujan turun di musim kemarau panjang. Itulah perumpamaan yang dapat dikemukakan terkait harapan Ketua KPK di atas. Di tengah semakin menggilanya korupsi di negeri ini dan di tengah menguatnya perlawanan terhadap eksistensi KPK, harapan yang disampaikan Abraham sama saja dengan sebuah mimpi. Mimpi indah yang sepertinya mustahil akan tercapai kendati itu 33 tahun lagi dari sekarang. Kenyataan yang ada di tengah masyarakat seperti mengkonfirmasikan kemustahilan itu.
Secara kasat mata, data kuantitas maupun kualitas menunjukkan betapa perilaku korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya, melampaui akal sehat. Korupsi di negeri ini nyaris menjadi sebuah kejahatan yang sempurna (the perfect crime) seperti dinyatakan sosiolog Jean Baudrillard. Artinya, korupsi telah menjadi satu wacana yang direncanakan, diorganisir dan dikontrol secara sempurna melalui teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi, sehingga ia melangkahi otoritas hukum, melewati kemampuan akal sehat, dan melompati jangkauan nilai-nilai budaya dan moralitas ( Yesmir dan Adang, 2010).
Adakah gambaran lain yang lebih tepat untuk melukiskan keadaan darurat korupsi di tanah air seperti sekarang ini?
Realita lain yang semakin menempatkan mimpi Abraham nyaris sebagai sesuatu yang mustahil adalah kenyataan yang diungkapkan Sekjen Transparency International Indonesia ,Teten Masduki, bahwa gerakan antikorupsi yang digagas selama ini masih sebatas slogan dan tak menyentuh akar persoalan. Akibatnya, pemberantasan korupsi tak berdampak positif dalam mengurangi perilaku korup di kalangan pejabat publik. (Kompas, 1/8-2012).
Tapi, apakah harus sedemikian pesimisnya kita menanggapi perkembangbiakan korupsi, sehingga seorang Ketua KPK sekali pun tidak layak untuk bermimpi indah?
Sulit memang untuk membantahnya jika sistem atau manajemen pengelolaan keuangan negara masih seperti sekarang ini, penuh dengan ketertutupan. Mengutip adagium lama: kejahatan terjadi karena niat dan kesempatan, maka sesungguhnyalah kesempatan itu akan selalu ada di ruang-ruang tertutup, ruang-ruang gelap yang memungkinkan segala kejahatan terjadi. Bahkan, tanpa diawali dengan niat sekali pun, seseorang yang dihadapkan dengan sebuah kesempatan, niscaya akan tergoda melakukan kejahatan.
Di dalam sistem pengelolaan keuangan negara yang semua serba tertutup, pemberantasan korupsi tidak akan pernah berjalan efektif selagi seluruh instansi penegak hukum lebih terpaku kepada sisi pembarantasan semata (aspek represif) dan mengabaikan sisi pencegahan ( preventif). KPK boleh saja pasang aksi seribu jurus, menyabet ke sana kemari, menangkap semua tersangka koruptor dan memprosesnya tanpa ampun. Tapi seberapa mampukah KPK bisa melakukan semua itu di tengah mewabahnya penyakit korupsi?
Jangankan satu KPK, bahkan 10 KPK pun tak akan sanggup memberantas korupsi sejauh semua sistem atau
manajemen dalam menjalankan proses pemerintahan masih tertutup. Apakah itu dari sisi penganggaran, pembelanjaan,
maupun sisi penerimaan, bahkan sampai kepada manajemen kepemimpinan dan pola pengambilan keputusan.
Dipastikan, tanpa dibarengi upaya pencegahan dengan cara membuka seterang-terangnya manajemen pengelolaan negara/ pemerintahan , kerja KPK sama saja dengan seorang pemungut sampah di muara sungai sementara di bagian hulu sampah terus menerus diproduksi.
Gratifikasi Bukan Untuk Pencegahan Di sinilah sebenarnya inti persoalannya. Secara umum dapat disebut aksi-aksi KPK selama ini lebih banyak bermain pada tataran pemberian/ penerimaan gratifikasi. Dalam banyak kasus, para penyidik/ penyelidik KPK lebih banyak melakukan aksi ’’tangkap tangan’’ yang justru menunjukkan, bahwa sesungguhnya telah terjadi tindakan/ perbuatan korupsi. Sayangnya, UU No.30 Tahun 2002 yang mengatur keberadaan KPK memang memasukkan masalah gratifikasi di bawah bidang pencegahan (bidang lainnya adalah penindakan; informasi dan data; pengawasan internal dan pengaduan masyarakat) yang menurut pandangan penulis sangatlah tidak tepat.
Dengan segala hormat atas prestasi KPK selama ini, sesungguhnyalah dapat dikatakan aksi tangkap tangan ini menunjukkan keterbatasan kemampuan KPK itu sendiri. Aksi-aksi KPK yang lebih banyak bermain pada tataran pemberian/ penerimaan gratifikasi dapat diartikan sebagai aksi ‘’remeh-temeh’’, aksi yang hanya mengungkap korupsi kecil-kecilan (bukan dalam konotasi nominal). KPK belum menunjukkan kemampuan melakukan pencegahan perbuatan korupsi dalam arti luas, masuk ke dalam sistem pengelolaan keuangan negara.
Gambaran berikut mengkonfirmasikan betapa secara kuantitas maupun kualitas korupsi terus menggurita di tengah gegap gempitanya KPK melakukan pemberantasan; Indeks persepsi korupsi di Indonesia memang pernah disebut mengalami kenaikan dari 2,8 menjadi 3. Tapi untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih menempati posisi keempat setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sementara di tingkat dunia, Indonesia berada di rangking 100 dari 183 negara (Kompas.com, 1/12-2012). Data ini sejalan dengan pernyataan berbagai pihak bahwa korupsi tetap terus bertambah banyak sebagaimana diakui anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan ( Tempo.co 17/7-2012). (bersambung / Penulis: Pemred Pos Sore)