-2.3 C
New York
13/12/2024
Opini

Ketika Abraham Samad Bermimpi (1)

Oleh Ramly Amin S

Saya berharap, 33 tahun lagi, di saat ulang tahun Republik Indonesia yang keseratus, korupsi tak ada lagi di  Indonesia. Semoga saat itu kita berkata:  Apa itu korupsi? Korupsi itu benda di zaman purba!”  (Ketua Komisi  Pemberantasan Korupsi, Abraham  Samad, pada acara Youth Camp di  Ciawi sebagaimana dikutip detikcom, Selasa, 9/10/2012).     ———————————————–

IBARAT petani yang berharap hujan turun di musim kemarau panjang. Itulah perumpamaan yang dapat  dikemukakan terkait harapan Ketua KPK di atas. Di tengah semakin menggilanya  korupsi di negeri ini dan di tengah menguatnya perlawanan terhadap eksistensi KPK, harapan yang disampaikan Abraham sama saja dengan sebuah mimpi. Mimpi indah yang sepertinya mustahil akan tercapai kendati itu 33 tahun lagi dari sekarang.  Kenyataan yang ada  di tengah masyarakat seperti mengkonfirmasikan kemustahilan itu.

Secara kasat mata,  data kuantitas maupun kualitas menunjukkan betapa perilaku korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya, melampaui akal sehat.  Korupsi di negeri ini nyaris menjadi sebuah kejahatan yang sempurna  (the perfect crime) seperti  dinyatakan sosiolog Jean Baudrillard. Artinya,  korupsi telah menjadi satu wacana yang direncanakan,  diorganisir dan dikontrol secara sempurna melalui teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi, sehingga ia melangkahi otoritas hukum, melewati kemampuan akal sehat, dan melompati jangkauan nilai-nilai budaya  dan moralitas ( Yesmir dan Adang, 2010).

Adakah gambaran lain yang lebih tepat untuk melukiskan keadaan   darurat korupsi di tanah air  seperti sekarang ini?

Realita lain yang  semakin menempatkan mimpi Abraham nyaris sebagai sesuatu yang mustahil adalah kenyataan yang diungkapkan Sekjen  Transparency International Indonesia ,Teten Masduki, bahwa gerakan antikorupsi yang digagas selama ini masih sebatas slogan dan tak menyentuh akar persoalan. Akibatnya, pemberantasan korupsi tak berdampak positif dalam mengurangi perilaku korup di kalangan pejabat publik. (Kompas, 1/8-2012).

Tapi, apakah harus sedemikian pesimisnya kita menanggapi perkembangbiakan korupsi, sehingga seorang Ketua  KPK sekali pun tidak layak untuk bermimpi indah?

Sulit memang untuk membantahnya jika sistem atau manajemen pengelolaan keuangan negara masih  seperti sekarang ini,  penuh dengan ketertutupan. Mengutip adagium lama: kejahatan terjadi karena  niat dan kesempatan,  maka sesungguhnyalah kesempatan itu akan selalu ada di ruang-ruang tertutup, ruang-ruang gelap yang  memungkinkan segala kejahatan terjadi. Bahkan, tanpa diawali dengan niat  sekali pun, seseorang  yang dihadapkan dengan sebuah kesempatan, niscaya akan tergoda melakukan kejahatan.

Di dalam sistem pengelolaan keuangan negara yang semua serba tertutup,  pemberantasan korupsi tidak akan pernah berjalan efektif selagi seluruh instansi penegak hukum lebih terpaku kepada sisi  pembarantasan  semata (aspek represif)  dan mengabaikan sisi pencegahan ( preventif). KPK boleh saja pasang aksi  seribu jurus, menyabet ke sana kemari, menangkap semua tersangka koruptor dan memprosesnya tanpa ampun. Tapi seberapa mampukah KPK bisa melakukan semua itu di tengah mewabahnya penyakit  korupsi?

Jangankan satu KPK, bahkan 10 KPK pun tak akan sanggup memberantas korupsi sejauh semua sistem atau
manajemen  dalam menjalankan proses pemerintahan masih tertutup. Apakah itu dari sisi penganggaran, pembelanjaan,
maupun sisi penerimaan,  bahkan sampai kepada manajemen kepemimpinan dan pola pengambilan keputusan.

Dipastikan,  tanpa dibarengi upaya pencegahan  dengan cara membuka seterang-terangnya manajemen pengelolaan  negara/ pemerintahan ,  kerja KPK  sama saja dengan seorang pemungut sampah di muara sungai sementara di bagian hulu sampah terus menerus  diproduksi.

Gratifikasi Bukan Untuk Pencegahan                                                                                                                                    Di sinilah sebenarnya inti persoalannya. Secara umum dapat disebut aksi-aksi KPK selama ini lebih banyak bermain  pada tataran pemberian/ penerimaan gratifikasi. Dalam banyak kasus, para penyidik/ penyelidik KPK lebih banyak melakukan aksi ’’tangkap tangan’’ yang  justru  menunjukkan, bahwa sesungguhnya telah terjadi tindakan/ perbuatan korupsi.  Sayangnya, UU No.30 Tahun 2002 yang mengatur keberadaan KPK  memang memasukkan  masalah gratifikasi  di  bawah bidang pencegahan (bidang lainnya adalah  penindakan; informasi dan data;   pengawasan internal dan pengaduan masyarakat) yang menurut pandangan penulis sangatlah tidak tepat.

Dengan segala hormat atas prestasi KPK selama ini, sesungguhnyalah dapat dikatakan aksi tangkap tangan ini  menunjukkan keterbatasan kemampuan KPK itu sendiri. Aksi-aksi KPK yang lebih banyak bermain pada tataran pemberian/ penerimaan gratifikasi dapat diartikan sebagai aksi  ‘’remeh-temeh’’, aksi yang hanya mengungkap korupsi kecil-kecilan (bukan dalam konotasi nominal). KPK belum menunjukkan kemampuan melakukan pencegahan  perbuatan korupsi dalam arti luas, masuk ke dalam sistem pengelolaan keuangan negara.

Gambaran berikut mengkonfirmasikan betapa secara kuantitas maupun kualitas korupsi terus menggurita di  tengah gegap gempitanya KPK melakukan pemberantasan; Indeks persepsi korupsi di Indonesia memang pernah disebut  mengalami kenaikan dari 2,8 menjadi 3. Tapi  untuk kawasan Asia Tenggara,  Indonesia masih menempati posisi  keempat setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sementara di tingkat dunia, Indonesia berada di rangking 100 dari 183 negara (Kompas.com, 1/12-2012). Data ini sejalan dengan pernyataan berbagai pihak bahwa  korupsi tetap terus bertambah banyak sebagaimana diakui anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan ( Tempo.co  17/7-2012).  (bersambung / Penulis: Pemred Pos Sore)

 

Leave a Comment