JAKARTA, PosSore.id — Pemerhati Politik Emha Hussein AlPhatani mengatakan DPR saat ini tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat tetapi sudah menjadi sebuah lembaga negara yang kotor dan hanya tunduk dan patuh pada kepentingan kelompok tertentu.
Pernyataan itu dilontarkan Emha menyikapi hasil kerja Badan legislasi DPR yang berupaya mengakali Putusan mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII-2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah.
“DPR mestinya tunduk dan patuh pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena setiap keputusan dari lembaga itu bersifat final dan mengikat. Ini koq malah membentuk Panitia Kerja untuk membahas keputusan itu,” tegas Emha.
Dia bahkan mengatakan ketika putusan Nomor 90 di keluarkan MK, DPR sama sekali tidak terusik padahal rohnya sama dengan keputusan Nomor 60 ini,.
Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPR, kata Emha merupakan kemunduran dan sangat memalukan bagi perilaku politisi yang dipertontonkan kepada publik sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan kepala daerah.
“Sebuah angkah mundur dalam prinsip bernegara. Langkah mundur poilitik nasional dan langkah mundur bagi anggota DPR yang notabene dipilih rakyat membela aspirasi rakyat bukan oligarki.”
Pendapat serupa juga dikatakan Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Firman Noor dalam program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Rabu (21/8/2024) sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
“Ini betul-betul setback dan menurut saya memalukan,” kata Firman.
Sikap DPR itu, kata Firman memperlihatkan mereka sama sekali tidak mempedulikan kepentingan atau mengawal aspirasi dan kepentingan rakyat, serta mengesampingkan pendidikan politik yang seharusnya menjadi teladan dan mendewasakan masyarakat.
“Secara substansial mereka lebih mementingkan dirinya, kelompoknya, untuk makin membuat kartelisasi politik di Indonesia semakin masif bekerja sama dengan para oligarki untuk kepentingan sesaat. Mereka bukan membangun pendidikan politik yang baik dan peradaban politik yang baik bagi seluruh rakyat” ujar Firman.
Dia menilai sikap DPR merevisi UU Pilkada buat mengakali putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah memperlihatkan hal yang luput dari praktik demokrasi yang selama ini dijalankan.
Padahal menurutnya, Indonesia dibangun dengan semangat kedaulatan rakyat demi tujuan kesejahteraan bersama.
“Daulat rakyat. Artinya spirit demokrasi, bukan spirit oligarki, tapi yang dipertontonkan oleh para politisi hari ini sangat bertolak belakang dengan apa yg ingin diwariskan oleh para pendiri bangsa,” ucap Firman.
Sebagaimana diketahui MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
Dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 disebutkan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Kegilaan yang dipertontonkan DPR melalui Badan Legislasi membuat eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan gagal maju dan PDI-P yang belum mengusung pasangan calon Gubernur DKI yang semula diuntungkan dengan keputusan MK tersebut menjadi sirna seketika.
Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berupaya mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.
Baleg mengakalinya dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.
Ketentuan itu menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang dibahas oleh panja dalam kurun hanya sekitar 3 jam rapat.
Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen.
“Disetujui Panja 21 Agustus 2024 Usulan DPR pukul 12.00 WIB,” tulis draf revisi itu.
Padahal, justru pasal itu lah yang dibatalkan MK dalam putusannya kemarin. Tidak ada perlawanan berarti dari para anggota panja untuk membela putusan MK yang sebetulnya berlaku final dan mengikat. (**)