Oleh : Emha Husein Alphatani
Pemerhati Politik
MEMASUKI Bulan September 2021, berbagai agenda mulai digelar di seantero tanah air oleh Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mulai dari rangkaian acara menjelang HUT ke-20 Partai Demokrat sampai Musyawarah Daerah di beberapa Provinsi.
Desakan untuk mempercepat Musda adalah langkah terburu-buru bagi kubu AHY untuk melakukan konsolidasi di tengah gonjang-ganjing dalam tubuh partai berlambang bintang mercy tersebut. Ini dinilai oleh berbagai pihak sebagai upaya untuk merapatkan barisan sebelum Keputusan PTUN Jakarta tentang kubu manakah yang berhak menyandang nama DPP Partai Demokrat, Apakah kubu AHY atau Kubu KLB di bawah kepemimpinan Jend TNI (Purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum.
Mestinya pelaksanaan Musda PD tidak perlu tergesa-gesa dilakukan oleh kubu AHY mengingat keputusan PN Jakarta Pusat yang menolak gugatan AHY kepada 12 kader PD Penggagas KLB pada 12 Agustus 2021 lalu. Gugatan yang ditolak itu terdaftar dengan Nomor 236/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST.
Sehingga secara yuridis formal kedua kubu saat ini memiliki hak yang sama di mata hukum. Melalui keputusan PN Jakarta Pusat itu, pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang digelar pada 5 Maret lalu di Sibolangit, Deliserdang, Sumatera Utara, Sah secara hukum dan tidak bertentangan apalagi mencederai Undang Undang yang berlaku di Indonesia.
Musda PD di beberapa daerah dimenangkan oleh incumbent sehingga hal ini memberikan gambaran kepada masyarakat luas bahwa tidak semua daerah sudah menyiapkan musda secara matang. Yang Penting Bapak Senang. Kira-kira seperti itu arah berpikir kader PD yang ada di daerah. Tetapi bagi sang Ketua DPD mau tidak mau, perintah itu harus dilaksanakan demi kursi empuk yang masih didudukinya. Atau dengan sebutan lain, Jangan membantah perintah. Inilah hancurnya demokratisasi di tubuh Partai Demokrat saat ini dalam menyiapkan pemimpin di daerah hanya untuk tujuan yang semu.
Penolakan untuk melaksanakan Musda bukannya tidak datang dari daerah. Berkali kali pengurus daerah meminta untuk menunda Musda dengan berbagai alasan terutama pandemi Covid-19, tetapi tidak mendapat respon positif dari DPP PD kubu AHY. Tentunya dengan embel-embel ancaman yang diterima pengurus DPD apabila tidak melaksanakan Musyawarah Daerah (Musda) untuk memilih Ketua DPD.
Kursi Ketua DPD ternyata cukup prestisius bagi kader PD di daerah. Meskipun untuk merebut kursi itu, besar dugaan mereka harus menggelontorkan sejumlah dana yang besar nilainya. Meskipun semasa menjabat Ketua DPD pada periode sebelumnya rata-rata para ketua DPD ini belum memenuhi kewajibannya untuk membangun Kantor DPD PD sebagai asset partai.
Apakah pelaksanaan Musda yang terkesan dipaksakan ini sebagai bentuk kepanikan AHY dan kroninya ? Bisa dikatakan begitu, sebab Keputusan PTUN Jakarta terhadap gugatan No. 150/G/2021/PTUN.JKT dan 154/G/2021/PTUN.JKT akan segera keluar sebagaimana diperkirakan oleh sebagian besar pakar hukum dan pengamat politik setelah melalui belasan kali persidangan.
Kenapa harus terburu-buru menggelar Musda ? Hal ini tentunya ada maksud terselubung di balik keharusan untuk melaksanakan Musda tersebut.
Tindakan itu bukannya memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat tetapi upaya penggiringan opini masyarakat bahwa kubu AHYlah yang benar dan bakal memenangkan persidangan di PTUN. Bagi kubu PD KLB Moeldoko langkah AHY itu sama sekali tidak mengganggu kinerja dan kerja mereka.
Tindakan menggelar Musda menurut sebagian pengamat politik dan pakar hukum adalah sebuah pelecehan terhadap hukum yang berlaku di tanah air kita tercinta ini. AHY Panik sampai nyaris buta sehingga tidak bisa membaca realita yang terpampang jelas di depannya yakni gugatannya ditolak hakim sebelum memasuki pokok perkara. Artinya semua isi gugatannya gugur demi hukum.
Kubu PD versi KLB meyakini dengan ditolaknya gugatan tersebut, berarti pelaksanan KLB tersebut Sah secara hukum dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di negara Indonesia, demikian juga dengan legalitas peserta KLB untuk menggunakan atribut Partai Demokrat, kedua hal inilah yang menjadi inti dari gugatan AHY ke PN Jakpus.
Yang lebih membuat para kader terutama anggota legslatif baik di tingkat pusat maupun daerah adalah beredarnya pesan Whatsapp yang se akan-akan disebarkan oleh kubu PD KLB tentang kinerja anggota DPR yang hanya Datang, Duduk dan Duit dan meminta agar Ketua Fraksi PD Eddi Baskoro Yudhoyono (Ibas) untuk segera melakukan evaluasi.
Ada pula pesan Whatapp dari Acece yang isinya “Untuk mempertahankan posisinya sebagai anggota Dewan, beberapa anggota DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota asal Partai Demokrat sudh melakukan deal-deal politik dengan kubu Moeldoko, bahkan mereka rutin mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia.” Pesan-pesan seperti ini beredar di kalangan kader Partai Demokrat.
Ini adalah penggiringan opini yang sengaja dibuat oleh kubu AHY untuk mendiskreditkan kubu Moeldoko yang fokus melalui jakur hukum untuk memperoleh kemenangan yang hakiki.
Semangat juang para pelaku KLB sama sekali tidak kendor dengan bermunculan isu-isu miring tersebut. Dengan bermodalkan semangat dan cita-cita luhur, pelaku KLB saat ini menunggu putusan hakim PTUN Jakarta pada gugatan bernomor 150/G/2021/PTUN.JKT dan No. 154/G/2021/PTUN.JKT dengan Tergugat Menteri Hukum dan HAM RI.
Dalam gugatan itu,Penggugat meminta majelis hakim membatalkan dan mencabut SK Menkumham tentang jawaban permohonan atas pendaftaran perubahan AD/ART dan perubahan susunan kepengurusan tahun 2021-2025 PD versi Deli Serdang yang telah menetapkan; Jend. TNI (Purn) Dr. Moeldoko, S.I.P sebagai Ketua Umum dan drh. Jhony Allen Marbun, M.M sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat periode 2021-2025.
Harapan kader dan anak bangsa tentunya adalah bagaimana PTUN mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan serta mengedepankan azas Demokrasi sebagai dasar pijakan politik. Bukan politik Dinasti yang sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu. (**)

