JAKARTA (Pos Sore) — Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Gatot Abdullah Mansyur, memastikan moratorium penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor rumah tangga dengan Arab Saudi tidak bakal dicabut dalam waktu dekat.
“Moratorium ini sudah berjalan sekitar dua tahun dan belum ada rencana dicabut dalam waktu dekat,” kata Gatot, usai dilantik Menko Kesra Agung Laksono menggantikan pejabat lama, Jumhur Hidayat, di Kemenko Kesra, beberapa hari lalu.
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan moratorium belum perlu dicabut. Salah satunya, kualitas TKI, khususnya yang akan ditempatkan di sektor domestik yang perlu ditinjau kembali. “Kalau kita saja masih belum yakin dengan kualitas TKI, buat apa dikirim lagi ke sana,” tandasnya.
Kalaupun nantinya pengiriman TKI sektor rumah tangga dibuka, yang akan diizinkan berangkat pertama adalah pekerja laki-laki, setelah itu baru TKW. Pertimbangannya, pekerja laki-laki lebih tahan banting dibanding buruh wanita. Ke depan, pelatihan bagi TKI di sektor domestik akan ditambah dari 400 jam menjadi 600 jam.
“Masalah lain yang menjadi ganjalan hingga moratorium tidak lekas dibuka, masih belum adanya kesepakatan pada sejumlah poin yang ada dalam perjanjian bilateral antarkedua belah pihak, khususnya pada masalah kontrak gaji,” tambahnya.
Pihak Indonesia sendiri telah mengusulkan kepada pemerintah Arab Saudi, gaji minimal per bulan bagi TKI adalah 1.200 real. Sampai saat ini masih belum ada titik temu terkait masalah gaji minimal tersebut. Namun, sejumlah usulan Indonesia telah diterima oleh pemerintah Arab Saudi dan bahkan telah diakomodasi menjadi undang-undang di sana.
Beberapa usulan Indonesia yang telah diakomodasi adalah, kesepakatan satu hari libur dalam satu minggu. Jika di hari libur TKI disuruh bekerja, mereka wajib mendapat uang lembur sebanyak 50 real. Selain itu, pemerintah Saudi juga setuju nantinya paspor TKI tidak dipegang oleh majikan, tetapi diserahkan ke sebuah mega rekrutmen di Arab Saudi.
Semua yang disepakati memang telah disepakati dalam perjanjian bilateral kedua negara, yang diteken oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, dan Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi Adiel M Fakeih, di Riyadh, Arab Saudi pada Febuari lalu.
Namun, kesepakatan itu belum bisa dilaksanakan. Joint Working Committee (JWC) kedua negara ini masih harus segera melakukan pertemuan lanjutan untuk membahas sistem, mekanisme, dan persyaratan serta standar perjanjian kerja. (tety)