KUNCHEN gak bosen puter ulang cakram tipis ajaib berlabel, Braveheart. Film lawas yang dibintangi aktor jagoannya, Mel Gibson, selalu memberi inspirasi setiap ia nonton.
Kisah William Wallace, anak bangsawan Skotlandia tak bangga punya bapak, Sir Patrick Wallace yang disegani. Hidup kecukupan, punya warisan gak habis 7 turunan, Wallace praktis hidup enak, nikmat, dan merdeka di negara yang kaya sumber daya alam.
Namun ia tak sadar sampai ia dewasa, kenikmatan dan kemerdekaan itu tak pernah dimilikinya. Inggris ngotot jadikan Skotlandia negara koloni. Alhasil, William jadi trouble maker di kampungnya, Skotlandia. Anak muda ini galang kekuatan, menolak jadi bagian Kerajaan Inggris.
Kisah epic itu berakhir klimaks. William di pancung di meja algojo Baron Inggris. Dan itu jadi kisah menarik buat Kunchen, meski akhirnya Skotlandia tetap jadi bagian Kerajaan Inggris Raya.
Kunchen, jadi berpikir, apa perlu ada ya William Wallace di negaranya ini, atau dirinya jadi pahlawan itu. Yah, meski bapaknya cuma PNS golongan menengah, hidupnya diatas ‘estede’ alias diatas standar. Itu karena Si Engkong warisin tanah puluhan hektar buat bapaknya yang juga anak semata wayang seperti dirinya.
Kalau yang ini jalan hidupnya mirip William Wallace, tapi apa Kunchen juga terancam, tidak merdeka dan tidak menikmati hidup. Oh yang itu beda konteks. Kunchen memang tak tinggal di Skotlandia. Ia dan warga kampungnya juga gak sedang kucing-kucingan dari petugas pajak yang narik upeti seperti di kampungnya Wallace. Cuma Kunchen prihatin sobatnya Jalu dan kebanyakan warga kampung ngaku gak merdeka.
Kunchen bingung, kok tiap hari, Jalu, sahabatnya ngeluh terus Emaknya sewot setiap pulang dari pasar. Apa si Emak dipalakin preman pasar. Oh ternyata bukan itu, si Emak sewot sampe puyeng. Sewotnya itu ngaruh sampe meja makan. Kadang potongan ayam goreng jadi kecil, tempe jadi tipis, gak ada sambel ulek, nasi cuma setengah piring sampai-sampai sayur gak ada rasanya. “Ini berpengaruh sama asupan gizi gue,” kata Jalu yang sok sehat itu.
“Kebangetan amat si Emak nyiksa loe Jalu. Apa emang babe loe motong uang belanja,” tanya Kunchen. “Bukan, tapii emang harga sembako itu yang mahal. Malah kata Si Emak, hari gini beli cabe dua rebu gobang aja gak dapet, makanya gak pernah bikin sambel lagi, aseeemm,” jawab Jalu.
“Haaaa…. ini tanda-tanda penindasan, ancaman terhadap kemerdekaan badan mendapatkan asupan gizi cukup dan seimbang,” teriak Kunchen yang bikin Jalu heran. Cuma, pikir Kunchen, apa yang bisa dibuatnya untuk membebaskan Jalu dari ancaman itu. Kan, yang ngatur harga sembako bukan dia atau kepala kampung.
Halaah sekarang yang puyeng bukan cuma Jalu dan Emaknya. Si Kunchen ikut-ikutan puyeng. Dua sobat itu terus ngobrol, tukar pikiran gimana caranya supaya Si Emak Jalu gak sewot lagi setiap pulang dari pasar. Ternyata, kata Kunchen, beban William Wallace lebih ringan dari bebannya atau Jalu.
Masalah Wallace lebih riil, nyata, nampak, kelihatan. Jelas ada tukang pukul Baron Inggris yang nyiksa warga kalau tolak bayar upeti. Atau tiba-tiba satu keluarga kehilangan tanah dan gubuknya karena dirampas penguasa.
Pembangkangannya pada penguasa jelas, supaya tanah kampungnya tak dikuasai. Meski harus kehilangan kepala, William berhasil menanamkan semangat betapa penting dan berharganya punya kedaulatan di kampung sendiri. Yang pasti sih, kemerdekaan itu sesuatu…. William dapatkan kemerdekaan dirinya.
Lha kalau sekarang di kampungnya, pikir Kunchen, gak ada pasukan berkuda patroli di kampung, gak ada tukang catet upeti yang datang dari rummah ke ruumah. Tapi kok, Kunchen ngerasa lebih terancam ya.
Gimana gak, sebagai sobat sehidup semati, Kunchen merasakan derita Jalu. Gak nikmati hidup karena gak makan sambel. Kemerdekaan berbelanja Si Emak juga seperti di rampas.
Ke Jalu, Kunchen bilang apa perlu mereka ke pasar terus marahin pedagang karena jual telor, kangkung, tomat, beras, cabe mahal. Yang ada satpam pasar ngamanin dia ke pos polisi, ntar dikandangin ke RSJ lagi. Nah loh, Kunchen mikir lagi.
“Udah gak usah mikir Chen, ke rumah loe aja yuk, jadi pengen nonton Mel Gibson tuh, kali aja gue dapet ide gimana buat Emak di rumah gak sewot lagi,” kata Jalu. Weh si Kunchen garuk-garuk kepala, mudah-mudahan aja idenya bukan menggal kepala sendiri. (Fenty Ruchyat)