JAKARTA (Pos Sore) — Deputi Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Abdul Kadir Damanik mengungkapkan, tidak tertutup kemungkinan kredit dari bank yang diterima Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) memiliki potensi permasalahan dalam pengembaliannya.
Penyebabnya, bisa faktor internal seperti kegagalan usaha, maupun faktor eksternal seperti adanya krisis moneter dan kejadian di luar kemampuan debitur. KUMKM yang memiliki kredit bermasalah ini tidak dapat diabaikan dan memerlukan upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit.
“Sehingga, tidak akan berdampak pada likuiditas keuangan KUMKM, yang dapat mengganggu kelancaran dan keberlangsungan usahanya dan atau bahkan menjadi bangkrut atau kolaps,” papar Damanik pada acara Focus Group Discussion (FGD) bertema Menekan Resiko Kredit Macet KUMKM, di Jakarta, Selasa (13/3).
Menurut Damanik, kredit macet adalah suatu keadaan pihak debitur baik perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya. Debitur tidak mampu membayar minimum pembayaran yang telah jatuh tempo lebih dari tiga bulan.
Damanik menjelaskan, kredit merupakan salah satu sumber pendanaan bagi KUMKM yang diperlukan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan usahanya, dan sumber pendanaan kredit terbesar diperoleh melalui lembaga keuangan/perbankan.
“Dalam pemberian kredit umumnya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan KUMKM selaku debitur dan mewajibkan untuk melunasi utangnya dengan jangka waktu tertentu beserta bunga pinjaman,” tambah Damanik.
Kredit yang diterima dan atau diberikan kepada KUMKM berdasarkan pertimbangan kelayakan KUMKM sebagai debitur perbankan. Bank harus merasa yakin kredit yang diberikan kepada KUMKM benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan.
Hanya, Damanik mengakui restrukturisasi kredit KUMKM masih menghadapi berbagai permasalahan. Pertama, restrukturisasi kredit yang diberlakukan lembaga keuangan perbankan dan lembaga pembiayaan masih dirasakan berat oleh KUMKM. Ini dapat dilihat dari berbagai pengaduan yang disampaikan oleh Koperasi dan UMKM.
Kedua, implementasi dari kebijakan restrukturisasi tersebut tidak diatur secara jelas oleh pemerintah dalam arti, tiap tiap bank diberikan kelonggaran untuk menyusun kebijakan restrukturisasinya masing-masing.
Ketiga, masih terjadinya moral hazard di kalangan perbankan yang lebih memilih untuk melakukan pelelangan atas aset debitur, karena pada umumnya nilai aset debitur lebih tinggi dari pada nilai kredit.
Keempat, debitur KUMKM memiliki keterbatasan dan kendala dalam bernegosiasi dengan bank untuk menyelesaikan kredit.
“FGD ini diselenggarakan dalam rangka mencari solusi bersama terkait dengan permasalahan yang banyak dialami oleh koperasi sebagai debitur perbankan/non perbankan dalam penyelesaian kredit,” tandasnya. (tety)