PAK Kokoh tertawa, dan berkata, ‘’Nenek moyang kita dahulu, termasuk kakekmu, makan di atas cobek tanah liat, tembikar. Apakah mereka lebih hina dari anjing?’’
‘’Di sini tidak ada yang berlebihan dari pada di rumahmu. Di sini diajar hidup sederhana. Supaya jangan perlengkapan di luar itu melayani manusia berlebih-lebihan, sehingga kau lemah, sehingga selalu dituntun dalam hidup.”
Perkataan yang baik itu tidak dimengerti oleh Surata. Dengan agak merutuk, ia tetap belum mau makan di atas piring kaleng. Setelah satu jam kemudian, baru ia mau menjamah makanan itu, sungguh pun tidak begitu banyak yang dimakannya.
Ketika malam tiba, setelah maghrib, latihan silat naga pun dimulai. ‘’Turun ke tanah dengan demikian saja,’’ ujar Pak Kokoh.
‘’Aku harus bergelimang tanah ini?’’ Sangkal Surata. ‘’ Aku belum pernah menyentuh tanah, walau dengan ujung jari kaki sekali pun!’’
Pak Kokoh jadi kesal juga dengan jawaban Surata. Tetapi ia telah menjadi orang penyabar dengan umur lanjut demikian. Surata dipangkunya ke tengah gelanggang. Diletakkannya di atas tanah. ‘’Nah…berusahalah untuk mengeluarkan jurus silat, dari pada kau kami tinggalkan sepanjang malam di tempat terbuka ini,’’ kata Pak Kokoh.
Surata melihat di sekelilingnya orang telah sibuk. Ada pula yang mengurut dirinya sendiri. Ada yang memukul-mukul seluruh otot kakinya. Ada lagi yang mengurut-urut lehernya yang kaku. Memang Surata sendiri melihat, bahwa anak yang pincang dan bengkok leher, diketahuinya semakin sembuh dan anggota badannya kembali seperti biasa.
Surata mencoba mulai berguling di atas tanah. Ketika itu Pak Kokoh menyebutkan asal Adam dari tanah tembikar berwarna hitam, yang ditiupkan sebahagian dari roh Allah kepadanya, jadilah manusia.
Sambil menangis, Surata berusaha mengguling-gulingkan dirinya di atas tanah. Tetapi ia berhenti ketika diketahuinya sebagian pakaiannya telah kotor. Namun suara Pak Kokoh memerintahkan agar Surata terus berlaku demikian. ‘’Kau harus bisa muntah, ‘’ kata Pak Kokoh. ‘’Dengan demikian urat-urat perutmu akan merombak susunan saraf di kepalamu.’’
Pada hari-hari bertikutnya, terkadang terpaksa Pak Kokoh menyeret Surata ke tanah. Karena Surata belum juga bisa muntah. Ini disebabkan ia melakukan seluruh anjuran Pak Kokoh dengan separoh-separoh hati, dan memperhitungkan dirinya kena tanah.
Pada hari ketuju barulah Surata muntah-muntah dengan mengeluarkan sebahagian isi perutnya yang berbuih. Kelihatan matanya memerah dan seluruh urat-urat di kepalanya seperti ikut berusaha mengeluarkan muntah itu.
Demikianlah, pada hari itu secara tiba-tiba, terjadi suatu keajaiban. Perlahan-lahan, dengan bimbingan permulaan, kini Surata dapat berdiri. Sunguh suatu keadaan yang tidak disangka sama sekali. Tetapi dalam wajah Surata kelihatan biasa saja. Tidak nampak rasa senang karena perubahan dirinya itu.
***
Mungkin saja ia dendam, karena ketika pertama kali diperlakukan seperti anak orang hina, di atas tanah lapangan tempat berlatih silat, sehingga badannya penuh oleh lumpur tanah liat. Teringat lagi, ketika ia makan diberi dengan piring kaleng. Teringat pula ia ketika itu tak seorang pula yang mengelus dan membujuk-bujuknya seperti ayah dan ibunya, beserta Ginem di rumah. Timbullah rasa dendam tersembunyi di dalam hatinya. Orang di perguruan 1000 Jurus Naga Perkasa ini telah memperlakukannya seperti orang biasa. Dan tidak menghormatinya.
Ketika lima belas hari kemudian, Bunyamin dan Safiah datang. Surata tidak mau memperlihatkan, bahwa ia telah pandai berdiri. Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kegembiraan, karena rasa kegembiraan itu telah ditimpa oleh perasaan dirinya telah dihina di tempat pengobatan ini. Karena itu wajahnya menjadi kaku, tegang, seperti tidak berperasaan untuk dipertimbangkan orang lain.
Surata seolah-olah tidak mau berterimakasih kepada kesembuhan yang telah mulai nampak. Bukankah ia telah membayarnya sebahagian dengan perlakuan tidak menghormatinya selama di gunung ini?
Mungkin ada juga manusia sejenis Surata ini, yang dikatakan orang seperti melepaskan anjingterjepit. Setelah ia lepas dari kesulitan ia akan mendendam kepada orang yang melepaskannya itu. Setidaknya ia akan berkata, kalau sejak lama orang menunjukkan cara demikian, tentu ia telah lama pula sembuh. Dan templak suara Surata di dalam hati pun semakin jauh. ‘’Kan aku sendiri bisa melakukannya di rumah?’’
Dua bulan kemudian Surata telah sembuh secara total. Sungguh pun ia belum bisa berjalan cepat, tapi ia telah dapat menyusul kedatangan orangtuanya naik ke gunung Walad.
‘’Sebenarnya, mereka telah menyakitiku Pak,’’rutuk Surata kepada Bunyamin.
‘’Tetapi nyatanya kau telah berangkat sembuh nak,’’ balas ibunya, Safiah, membelai punggung Surata yang berdiri goyah.
‘’Tetapi bayarannya, adalah perasaanku yang terhina lebih dari keuntungan aku sembuh dari penyakit ini,’’ tukas Surata lagi, sambil menceritakan bahwa, jika ia ke kamar mandi tak seorang pun yang mengantarnya. Demikian juga jika ia mandi, sedang dinding bak air yang tinggi tak tercapai oleh dirinya yang terduduk lumpuh, tak seorang pun menolongnya. Sampai kepada ketika akan kencing di tengah malam pun, tak seorang yang mengantar.
Makan yang diberikan di atas piring kaleng. Dan pernah dirinya dibiarkan berembun semalaman di tengah lapangan silat. Semua kekesalan hatinya seperti ditumpahkan Surata kepada kedua orangtuanya.
Bunyamin sebetulnya tak perlu tersinggung atas perlakuan seluruh anak perguruan termasuk Pak Kokoh, karena apa-apa yang diceritakan Surata itu adalah sebagai suatu sarana untuk menimbulkan kepercayaan kepada dirinya sendiri kembali, dan oleh Surata sendiri. Tetapi Bunyamin terlanjur mengasihani anaknya secara membabi buta. Mungkin karena Surata anak satu-satunya.
‘’Yang teramat penting, kan anak Pak Yamin telah maju kepercayaannya kepada diri sendiri. Dan kami sedikit pun tak bermaksud menghinanya, selain dengan menyembuhkan melalui dirinya sendiri, dan bermohon kepada Tuhan.’’
‘’Bukankah tidak ada orang lain di sini yang akan memfitnahkan, bahwa anak Bapak telah terhina, karena diperlakukan tidak seperti di rumah Bapak, yang serba penuh dengan layanan yang hebat dan sempurna, sehingga Surata bagaikan patung yang tidak bergerak yang selalu disuguhi apa maunya saja?’’ Demikian Pak Kokoh menyampaikan pendapatnya.
‘’Aku tidak meminum obat apa pun selama di sini. Dan aku tidak merasa, bahwa merekalah yang menyembuhkan aku!’’ Bentak Surata, di samping ayahnya. Safiah hanya berusaha menyabarkan hati anaknya.
‘’Tapi nyatanya, kau sembuh Surata,’’ balas Bunyamin.
***
Rasa kurang bahagia anaknya itu mendatangkan juga rasa kurang bahagia pada diri Bunyamin dan Safiah, sungguhpun anak mereka telah sembuh. Ia memandang kehidupan yang derajatnya rendah pada Pak Kokoh yang tinggal di gubuk Gunung Walad. Kalau orangtua itu memang mempunyai kelebihan, mengapa ia tidak dapat hidup seperti orang kaya di kota? Dengan kenyataan dapat menyembuhkan orang yang berpenyakit, seperti anaknya sekarang ini?
Bermacam-macam lagi bisikan hati dipenuhi setan yang merayap ke dada Bunyamin, sehingga ia menuduh, mungkin secara kebetulan saja anaknya sembuh di tempat Pak Kokoh. Tidak ada kodrat gaib apa pun yang menyembuhkan Surata.
Walau pun Pak Kokoh tak menopangkan harapan, agar Bunyamin meninggalkan sedikit penghargaan sebagai tanda terima kasih karena anaknya sembuh, tapi kenyataan memang menjadi sangat tidak patut. Ternyata Bunyamin, Safiah dan anaknya pergi begitu saja, tanpa perlu mengingat berapa juta rupiah uang yang telah mereka habiskan dulu guna mengobati anaknya kepada spesialis-spesialis lain.
Murid-murid dan pelatih silat jurus pengobatan menjadi heran dengan kejadian demikian. Lebih heran lagi, karena melihat Pak Kokoh hanya tersenyum, sambil mempergesekkan kedua telapak tangannya.
‘’Inilah pasien dan hamba Allah yang paling tidak berterima kasih. Biarlah tidak kepada kita, tetapi kepada Tuhan ia harus membayarkan sesuatu. Sungguh pun tidak berupa materi, setidaknya amalan, sebagai pernyataan tobat, dan menghargai kasih sayang Allah!’’
Biasanya, kalau pelatih silat atau muridnya sering mengukit-ungkit yang demikian, kenyataan seperti yang diperlihatkan keluarga Bunyamin, Pak Kokoh marah. Ia mengatakan, sesuatu kejadian yang menimpa diri orang lain dan yang menimpa diri kita sendiri, pasti ada hikmahnya di sisi Tuhan.
Seharusnya Surata dilengkapi dengan amalan ibadah yang harus dilakukannya, agar penyakitnya benar-benar sembuh menurut keridhaan Tuhan. Hanya orang bijaksana dan mengerti akan ilmu Allah lah yang dapat memahami qadha dan qadar yang turun dari Allah itu.
Kabarnya di kota tempat tinggal orangtuanya, Surata telah belajar naik sepeda. Kemudian naik motor. Kini dengan mengenakan pakaian yang gagah seperti pemuda-pemuda belasan tahun anak orang kaya lainnya seperti Bunyamin, Surata menikmati kebebasannya. Sementara Pak Kokoh hanya dapat berdoa dari jauh, semoga Tuhan akan menurunkan petunjuk kepada orang yang dikasihani-NYA.
Tidak sampai tiga bulan kemudian, terjadilah hal yang menggemparkan, Terjadi onar besar dan membuat malu, karena Ginem pembantu rumah tangga Bunyamin hamil tiga bulan. Ginem telah dianiaya oleh Bunyamin sekeluarga, ketika ia mengakui Suratalah yang memaksanya berbuat demikian. Bunyamin ingin mengarahkan dosa itu kepada orang lain dengan menyelamatkan anaknya, yang baru sembuh dari lumpuh.
Ginem dibawa ke seorang dukun perempuan, untuk menggugurkan kandungannya. Namun malang sekali, hal tersebut justru membawa nyawa Ginem sendiri. Untung saja Bunyamin mempunyai banyak uang untuk mengatasi akibat penyelewengan hukum yang harus diterimanya. Dan yang menyebabkan juga Surata selamat dari tanggungjawab memikul kesalahan di depan pengadilan.PAK Kokoh tertawa, dan berkata, ‘’Nenek moyang kita dahulu, termasuk kakekmu, makan di atas cobek tanah liat, tembikar. Apakah mereka lebih hina dari anjing?’’
‘’Di sini tidak ada yang berlebihan dari pada di rumahmu. Di sini diajar hidup sederhana. Supaya jangan perlengkapan di luar itu melayani manusia berlebih-lebihan, sehingga kau lemah, sehingga selalu dituntun dalam hidup.”
Perkataan yang baik itu tidak dimengerti oleh Surata. Dengan agak merutuk, ia tetap belum mau makan di atas piring kaleng. Setelah satu jam kemudian, baru ia mau menjamah makanan itu, sungguh pun tidak begitu banyak yang dimakannya.
Ketika malam tiba, setelah maghrib, latihan silat naga pun dimulai. ‘’Turun ke tanah dengan demikian saja,’’ ujar Pak Kokoh.
‘’Aku harus bergelimang tanah ini?’’ Sangkal Surata. ‘’ Aku belum pernah menyentuh tanah, walau dengan ujung jari kaki sekali pun!’’
Pak Kokoh jadi kesal juga dengan jawaban Surata. Tetapi ia telah menjadi orang penyabar dengan umur lanjut demikian. Surata dipangkunya ke tengah gelanggang. Diletakkannya di atas tanah. ‘’Nah…berusahalah untuk mengeluarkan jurus silat, dari pada kau kami tinggalkan sepanjang malam di tempat terbuka ini,’’ kata Pak Kokoh.
Surata melihat di sekelilingnya orang telah sibuk. Ada pula yang mengurut dirinya sendiri. Ada yang memukul-mukul seluruh otot kakinya. Ada lagi yang mengurut-urut lehernya yang kaku. Memang Surata sendiri melihat, bahwa anak yang pincang dan bengkok leher, diketahuinya semakin sembuh dan anggota badannya kembali seperti biasa.
Surata mencoba mulai berguling di atas tanah. Ketika itu Pak Kokoh menyebutkan asal Adam dari tanah tembikar berwarna hitam, yang ditiupkan sebahagian dari roh Allah kepadanya, jadilah manusia.
Sambil menangis, Surata berusaha mengguling-gulingkan dirinya di atas tanah. Tetapi ia berhenti ketika diketahuinya sebagian pakaiannya telah kotor. Namun suara Pak Kokoh memerintahkan agar Surata terus berlaku demikian. ‘’Kau harus bisa muntah, ‘’ kata Pak Kokoh. ‘’Dengan demikian urat-urat perutmu akan merombak susunan saraf di kepalamu.’’
Pada hari-hari bertikutnya, terkadang terpaksa Pak Kokoh menyeret Surata ke tanah. Karena Surata belum juga bisa muntah. Ini disebabkan ia melakukan seluruh anjuran Pak Kokoh dengan separoh-separoh hati, dan memperhitungkan dirinya kena tanah.
Pada hari ketuju barulah Surata muntah-muntah dengan mengeluarkan sebahagian isi perutnya yang berbuih. Kelihatan matanya memerah dan seluruh urat-urat di kepalanya seperti ikut berusaha mengeluarkan muntah itu.
Demikianlah, pada hari itu secara tiba-tiba, terjadi suatu keajaiban. Perlahan-lahan, dengan bimbingan permulaan, kini Surata dapat berdiri. Sunguh suatu keadaan yang tidak disangka sama sekali. Tetapi dalam wajah Surata kelihatan biasa saja. Tidak nampak rasa senang karena perubahan dirinya itu.
***
Mungkin saja ia dendam, karena ketika pertama kali diperlakukan seperti anak orang hina, di atas tanah lapangan tempat berlatih silat, sehingga badannya penuh oleh lumpur tanah liat. Teringat lagi, ketika ia makan diberi dengan piring kaleng. Teringat pula ia ketika itu tak seorang pula yang mengelus dan membujuk-bujuknya seperti ayah dan ibunya, beserta Ginem di rumah. Timbullah rasa dendam tersembunyi di dalam hatinya. Orang di perguruan 1000 Jurus Naga Perkasa ini telah memperlakukannya seperti orang biasa. Dan tidak menghormatinya.
Ketika lima belas hari kemudian, Bunyamin dan Safiah datang. Surata tidak mau memperlihatkan, bahwa ia telah pandai berdiri. Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kegembiraan, karena rasa kegembiraan itu telah ditimpa oleh perasaan dirinya telah dihina di tempat pengobatan ini. Karena itu wajahnya menjadi kaku, tegang, seperti tidak berperasaan untuk dipertimbangkan orang lain.
Surata seolah-olah tidak mau berterimakasih kepada kesembuhan yang telah mulai nampak. Bukankah ia telah membayarnya sebahagian dengan perlakuan tidak menghormatinya selama di gunung ini?
Mungkin ada juga manusia sejenis Surata ini, yang dikatakan orang seperti melepaskan anjingterjepit. Setelah ia lepas dari kesulitan ia akan mendendam kepada orang yang melepaskannya itu. Setidaknya ia akan berkata, kalau sejak lama orang menunjukkan cara demikian, tentu ia telah lama pula sembuh. Dan templak suara Surata di dalam hati pun semakin jauh. ‘’Kan aku sendiri bisa melakukannya di rumah?’’
Dua bulan kemudian Surata telah sembuh secara total. Sungguh pun ia belum bisa berjalan cepat, tapi ia telah dapat menyusul kedatangan orangtuanya naik ke gunung Walad.
‘’Sebenarnya, mereka telah menyakitiku Pak,’’rutuk Surata kepada Bunyamin.
‘’Tetapi nyatanya kau telah berangkat sembuh nak,’’ balas ibunya, Safiah, membelai punggung Surata yang berdiri goyah.
‘’Tetapi bayarannya, adalah perasaanku yang terhina lebih dari keuntungan aku sembuh dari penyakit ini,’’ tukas Surata lagi, sambil menceritakan bahwa, jika ia ke kamar mandi tak seorang pun yang mengantarnya. Demikian juga jika ia mandi, sedang dinding bak air yang tinggi tak tercapai oleh dirinya yang terduduk lumpuh, tak seorang pun menolongnya. Sampai kepada ketika akan kencing di tengah malam pun, tak seorang yang mengantar.
Makan yang diberikan di atas piring kaleng. Dan pernah dirinya dibiarkan berembun semalaman di tengah lapangan silat. Semua kekesalan hatinya seperti ditumpahkan Surata kepada kedua orangtuanya.
Bunyamin sebetulnya tak perlu tersinggung atas perlakuan seluruh anak perguruan termasuk Pak Kokoh, karena apa-apa yang diceritakan Surata itu adalah sebagai suatu sarana untuk menimbulkan kepercayaan kepada dirinya sendiri kembali, dan oleh Surata sendiri. Tetapi Bunyamin terlanjur mengasihani anaknya secara membabi buta. Mungkin karena Surata anak satu-satunya.
‘’Yang teramat penting, kan anak Pak Yamin telah maju kepercayaannya kepada diri sendiri. Dan kami sedikit pun tak bermaksud menghinanya, selain dengan menyembuhkan melalui dirinya sendiri, dan bermohon kepada Tuhan.’’
‘’Bukankah tidak ada orang lain di sini yang akan memfitnahkan, bahwa anak Bapak telah terhina, karena diperlakukan tidak seperti di rumah Bapak, yang serba penuh dengan layanan yang hebat dan sempurna, sehingga Surata bagaikan patung yang tidak bergerak yang selalu disuguhi apa maunya saja?’’ Demikian Pak Kokoh menyampaikan pendapatnya.
‘’Aku tidak meminum obat apa pun selama di sini. Dan aku tidak merasa, bahwa merekalah yang menyembuhkan aku!’’ Bentak Surata, di samping ayahnya. Safiah hanya berusaha menyabarkan hati anaknya.
‘’Tapi nyatanya, kau sembuh Surata,’’ balas Bunyamin.
***
Rasa kurang bahagia anaknya itu mendatangkan juga rasa kurang bahagia pada diri Bunyamin dan Safiah, sungguhpun anak mereka telah sembuh. Ia memandang kehidupan yang derajatnya rendah pada Pak Kokoh yang tinggal di gubuk Gunung Walad. Kalau orangtua itu memang mempunyai kelebihan, mengapa ia tidak dapat hidup seperti orang kaya di kota? Dengan kenyataan dapat menyembuhkan orang yang berpenyakit, seperti anaknya sekarang ini?
Bermacam-macam lagi bisikan hati dipenuhi setan yang merayap ke dada Bunyamin, sehingga ia menuduh, mungkin secara kebetulan saja anaknya sembuh di tempat Pak Kokoh. Tidak ada kodrat gaib apa pun yang menyembuhkan Surata.
Walau pun Pak Kokoh tak menopangkan harapan, agar Bunyamin meninggalkan sedikit penghargaan sebagai tanda terima kasih karena anaknya sembuh, tapi kenyataan memang menjadi sangat tidak patut. Ternyata Bunyamin, Safiah dan anaknya pergi begitu saja, tanpa perlu mengingat berapa juta rupiah uang yang telah mereka habiskan dulu guna mengobati anaknya kepada spesialis-spesialis lain.
Murid-murid dan pelatih silat jurus pengobatan menjadi heran dengan kejadian demikian. Lebih heran lagi, karena melihat Pak Kokoh hanya tersenyum, sambil mempergesekkan kedua telapak tangannya.
‘’Inilah pasien dan hamba Allah yang paling tidak berterima kasih. Biarlah tidak kepada kita, tetapi kepada Tuhan ia harus membayarkan sesuatu. Sungguh pun tidak berupa materi, setidaknya amalan, sebagai pernyataan tobat, dan menghargai kasih sayang Allah!’’
Biasanya, kalau pelatih silat atau muridnya sering mengukit-ungkit yang demikian, kenyataan seperti yang diperlihatkan keluarga Bunyamin, Pak Kokoh marah. Ia mengatakan, sesuatu kejadian yang menimpa diri orang lain dan yang menimpa diri kita sendiri, pasti ada hikmahnya di sisi Tuhan.
Seharusnya Surata dilengkapi dengan amalan ibadah yang harus dilakukannya, agar penyakitnya benar-benar sembuh menurut keridhaan Tuhan. Hanya orang bijaksana dan mengerti akan ilmu Allah lah yang dapat memahami qadha dan qadar yang turun dari Allah itu.
Kabarnya di kota tempat tinggal orangtuanya, Surata telah belajar naik sepeda. Kemudian naik motor. Kini dengan mengenakan pakaian yang gagah seperti pemuda-pemuda belasan tahun anak orang kaya lainnya seperti Bunyamin, Surata menikmati kebebasannya. Sementara Pak Kokoh hanya dapat berdoa dari jauh, semoga Tuhan akan menurunkan petunjuk kepada orang yang dikasihani-NYA.
Tidak sampai tiga bulan kemudian, terjadilah hal yang menggemparkan, Terjadi onar besar dan membuat malu, karena Ginem pembantu rumah tangga Bunyamin hamil tiga bulan. Ginem telah dianiaya oleh Bunyamin sekeluarga, ketika ia mengakui Suratalah yang memaksanya berbuat demikian. Bunyamin ingin mengarahkan dosa itu kepada orang lain dengan menyelamatkan anaknya, yang baru sembuh dari lumpuh.
Ginem dibawa ke seorang dukun perempuan, untuk menggugurkan kandungannya. Namun malang sekali, hal tersebut justru membawa nyawa Ginem sendiri. Untung saja Bunyamin mempunyai banyak uang untuk mengatasi akibat penyelewengan hukum yang harus diterimanya. Dan yang menyebabkan juga Surata selamat dari tanggungjawab memikul kesalahan di depan pengadilan.
Tetapi, ada kalanya Allah mengambil nikmat yang telah dilimpahkan-NYA kepada hamba-NYA, sekiranya nikmat itu tak pernah diiringi perasaan bersyukur kepada-NYA. Pada suatu pagi, Surata memekik-mekik kembali, karena ia sudah tak bisa berdiri lagi, seperti ketika ia sembuh dahulu. Allah telah menarik kembali nikmat yang telah dilimpahkanNya kepada Surata dan keluarga orangtuanya.
Karena itu, sepatutnyalah manusia berlaku seperti Nabi Ayub, yang dalam kesulitan sekalipun, tetaplah percaya kepada kebijaksanaan Allah mengatur makhluk ini. (Ikuti terus kisah selanjutnya/ex3714/ras)