JAKARTA (Pos Sore) — Kebakaran di Jakarta masih menjadi momok menakutkan, khususnya di pasar-pasar tradisional. Seperti Jumat (25/4), api meludeskan bangunan Pasar Senen Blok III, Senen, Jakarta Pusat. Kebakaran Pasar Senen ini merupakan cerminan dari karut marutnya penataan lingkungan di Jakarta.
Pasar Senen Blok III ini diketahui tidak memiliki sistem pemadam kebakaran darurat. Selain itu, instalasi listrik di dalam areal pasar sangat semrawut.
Sehingga munculnya api sedikit saja bisa meludeskan bangunan pasar. Selain itu, sikap masa bodoh atas kondisi tersebut oleh PD Pasar Jaya dan Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Damkar PB) serta Dinas Pengawasan dan Penataan Bangunan (P2B) DKI Jakarta makin memperparah keadaan.
Koordinator Presidium Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Jakarta, Mohammad Syaiful Jihad menilai, kebakaran yang sering terjadi di Jakarta ini sudah harus dilihat sebagai kejadian luar biasa.
“Pasar Senen Blok III ini diketahui tidak memiliki sistem pemadam kebakaran darurat.”
Kondisi ini juga merupakan cermin dari karut marutnya penataan lingkungan di Jakarta. Jakarta yang juga ibu kota negara semestinya bisa menjadi tolak ukur dan contoh bagi ibu kota daerah lain.
Untuk mengatasinya, menurut Syaiful, sudah tak lagi efektif dengan hanya mengandalkan sosialisasi pengendalian kebakaran. Dibutuhkan contoh riil penataan lingkungan eks kebakaran sebagai model untuk penataan lingkungan padat.
“Apabila mayoritas penyebab kebakaran di Jakarta karena arus pendek listrik, berarti PLN tidak kompak dengan pengelola tata kota, seperti Dinas Damkar PB, Pasar Jaya dan Dinas P2B,” kata Syaiful, kemarin.
Syaiful juga menyoroti anggaran Dinas Damkar PB DKI yang mencapai triliunan rupiah per tahunnya, namun angka kebakaran di Jakarta justru terus meningkat.
“Ini kan pemborosan. Lalu anggaran sebesar itu kenapa kurang bermanfaat untuk warga. Untuk apa setiap tahun beli mobil pemadam yang canggih dan harganya sangat mahal kalau angka kebakaran makin melonjak,” tukas Syaiful.
“Apabila mayoritas penyebab kebakaran di Jakarta karena arus pendek listrik, berarti PLN tidak kompak dengan pengelola tata kota, seperti Dinas Damkar PB, Pasar Jaya dan Dinas P2B.”
Selain itu, dia juga mempertanyakan efektifitas 65 unit Pawang Geni yang digembar-gemborkan Gubernur DKI Joko Widodo mampu mengatasi kebakaran di perkampungan dengan akses jalan sempit.
Buktinya, setiap hari di ibu kota minimal ada dua kasus kebakaran yang tentu merugikan masyarakat.
Dia menilai, Pawang Geni bukan solusi yang tepat untuk mengatasi kebakaran di wilayah DKI.
Pawang Geni hanya bisa dipakai untuk memadamkan kebakaran dalam skala kecil saja. Karena tenaga yang dipakai untuk mengoperasikan pawang geni adalah tenaga manusia.
“Sumber tenaganya manusia, ditambah lagi ketersediaan air dan kapasitas pompa serta selang yang ada di Pawang Geni tidak mungkin memadamkan kebakaran dalam skala sedang atau besar,” tandasnya.
“Ada 53 kelurahan dan puluhan pasar tradisional di Jakarta yang masuk dalam zona merah rawan kebakaran.”
Sementara itu, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan, selain macet dan banjir, ancaman yang kerap menghantui warga Jakarta adalah kebakaran.
Ada 53 kelurahan dan puluhan pasar tradisional di Jakarta yang masuk dalam zona merah rawan kebakaran.
Yayat menegaskan, setiap kali ada kebakaran, proses pemadamannya kerap terlambat akibat buruknya penataan kota. “Itu sebabnya, buruknya penataan tata ruang di Jakarta menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kebakaran,” ujarnya.
Yayat menjelaskan, untuk menjadi kota yang modern, selain harus melakukan pembenahan dari segi tata ruang, Pemprov DKI juga mesti melakukan pembangunan infrastruktur yang bebas bencana. (fent/possore)