17/11/2025
AktualKesraNasional

Kasus MC di Bali, Kowani Tegaskan Stop Diskriminasi dan Kriminalisasi Terhadap Pekerja Perempuan

JAKARTA (Pos Sore) — Kongres Wanita Indonesia (Kowani) prihatin dengan kasus yang menimpa Ecy, seorang profesional di bidang Master of Seremony yang menyampaikan keluhannya di media sosial Instagram terkait perlakuan diskriminasi yang dialaminya.

Keprihatinan Kowani karena kasus tersebut telah digunakan sebagai bahan saling serang di media sosial antar politisi di Propinsi Bali. Pernyataan pers politisi dengan menggunakan simbol Partai Politik terhadap kasus tersebut dalam pandangan Kowani, tegas Ketua Umum Kowani Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd, merupakan arogansi.

“Apalagi pernyataan politisi bahwa kasus tersebut adalah hoax sangat disayangkan karena Kowani menerima pengaduan langsung yang disampaikan oleh korban,” tegas Giwo.

Artinya, kasus Ecy bukanlah hoax, ada korban dan banyak orang yang menyaksikan kejadian saat korban dalam detik-detik terakhir persiapan kegiatan penyambutan Menteri didampingi Gubernur Bali tidak diperkenankan untuk menjalankan tugasnya di lokasi acara.

Korban menjalankan tugasnya di ruangan tertutup yang berjauhan dengan lokasi acara. Korban dalam pengaduannya kepada Kowani mengaku tidak kaget jika terjadi pembatalan oleh pihak protokol Gubernur satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan. Hal tersebut sudah ia alami sejak tahun 2018 sampai kejadian pada 10 September 2021.

Giwo menegaskan, penyikapan kasus Ecy oleh politisi dengan menggunakan simbol Partai Politik dalam pandangan Kowani akan membawa preseden buruk bagi kasus serupa. Perempuan lagi-lagi akan menjadi korban diskriminasi yang dilakukan di tempat kerja. Korban juga akan mendapat ancaman berhadapan dengan kekuatan atau pihak-pihak di balik orang-orang yang yang berkuasa.

“Apalagi dalam konferensi pers dengan simbol Partai Politik tersebut juga mengancam melaporkan korban atau pihak-pihak yang protes ke ranah hukum. Dalam pandangan Kowani, hal tersebut akan berdampak pada psikologi korban dan perempuan lain yang mendapat perlakuan sama untuk takut melaporkan kasus karena ancaman kriminalisasi,” tegasnya.

Kasus yang menimpa Ecy adalah bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap pekerja perempuan di ranah publik. Kejadian ini bentuk pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) yang menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin adalah pelanggaran hukum.

“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi,” begitu kutipan pasal tersebut.

Indonesia sendiri telah meratifikasi Kovensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Perlindungan pada perempuan pekerja salah satu komitmen negara yang diamanatkan dalam UU tersebut.

Giwo menegaskan, negara berkewajiban menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan mulai dari proses perekrutan, menjalankan pekerjaan, promosi jabatan, peningkatan kapasitas, dan pemenuhan hak-hak pekerja (gaji, cuti, dan lainnya).

Tindakan diskriminasi tersebut jelas-jelas bertentangan dengan komitmen negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja perempuan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Tindakan diskriminasi tersebut juga bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 5 dan 6 tentang larangan diskriminasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya Pasal 190 (1) tentang adanya sanksi administrasi atas pelanggaran terhadap larangan diskriminasi oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

“Konstitusi Negara Indonesia secara jelas menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk mengambil peran di semua aspek atau bidang,” tutupnya. (tety)

Leave a Comment