JAYAPURA (Pos Sore) — Pengamat Sosial, Politik dan HAM Papua, Willem Frans Ansanay, mengatakan, sistem pemilihan di Papua yang dikenal dengan istilah sistem pemilihan noken sejauh ini masih menuai pro kontra. Hal itu dikarenakan masih ada pihak yang tidak setuju dengan sistem Noken itu dengan alasan sistem itu menciderai demokrasi.
Hal ini, menurut Willem Frans, kelompok yang kontra dengan sistem itu harus mencermati secara seksama sekaligus melihat tatanan budaya masyarakat Papua dan memahami aspek hukum yang berkembang. Sistem Noken ini sudah berlangsung lama dan memberikan legalitas hukum bagi pemimpin-pemimpin Papua masa lalu, mulai dari penentuan pendapat rakyat (Pepera), dan pemilihan kepala daerah yang berganti-ganti hingga saat ini.
“Gubernur berganti gubernur, sistem Noken ini digunakan. Sistem Noken ini sudah melegitimasi kepemimpinan masa lalu,” ungkapnya sebagaimana dilansir Tabloid ‘Bintang papua’ beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pihak yang menolak sistem Noken, dilatarbelakangi kekhawatiran bahwa dengan sistem itu pihaknya tidak bakal memperoleh kursi di DPRD, DPRP dan DPR RI, lalu mulai mendramatisir sesuatu yang seolah-olah sudah kalah sebelum perang. Alhasil sistem Noken ini menimbulkan kegerahan bagi partai politik (Parpol) tertentu karena takut kalah pad Pemilu nanti.
“Sampai hari ini ada beberapa daerah di Papua yang masih menggunakan sistem Noken, maka dimana letak kesalahannya dan demokrasi mana yang diciderai? Pernyataan seperti itu tidak jelas pemahamannya, karena sistem Noken merupakan harkat dan martabat orang asli Papua yang juga diadopsi oleh Pemerintah saat Pepera dan mengembalikan Irian Barat (Papua – red) masuk kedalam NKRI.”
Dia mengimbau pihak-pihak yang tidak sependapat dengan sistem Noken agar tidak perlu kuatir sebab pemilihan dengan sistem Noken tidak menciderai demokrasi, bahkan justru memberikan penguatan terhadap keutuhan bangsa.
Sistem Noken ini merupakan warisan budaya Papua yang pernah digunakan dalam Pepera dan berlangsung hingga sekarang. “Pada Pepera, 800 ribu rakyat Papua hanya diwakili 1025 orang untuk menentukan kembalinya Irian Barat (Papua saat ini) ke pangkuan ibu pertiwi. Jadi kalau ada pendapat yang menyatakan sistem itu menciderasi bangsa ini, maka orang Papua patut menuntut kemerdekaan karena suaranya tidak terwakili pada Pepera dulu.
“Jangan berikan tanggapan yang sempit dan dangkal, bagi saya silakan belajar lagi bagi pihak yang tidak setuju dengan sistem Noken ini,” sambungnya. (hasyim/nls)