Possore.com – Refly Harun melalui podcast-nya, Kamis sore (23/9) berpendapat, negara ini makin otoriter saja. Pendapat ini terkait dengan tuntutan jaksa kepada Jumhur Hidayat, salah satu petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Lebih jauh, Refly yang juga seorang advokat dan lebih dikenal sebagai pakar hukum tata negara berharap, siapa pun kelak yang akan menjadi presiden, UU No.1 Tahun1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dihapus saja.
UU ini memang digunakan jaksa penunut umum untuk menjerat Jumhur yang juga seorang aktivis. Jumhur diyakini jaksa menyebarkan berita bohong terkait Undang Undang Omnibuslaw/ UU Ciptaker. Jumhur diyakini jaksa bersalah melanggar pasal 14 ayat 1 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. ‘’Saya kira…siapa pun nanti penguasa, cabut undang undang ini. Undang undang ini terlalu fleksibel, terlalu banyak makan korban,’’ kata Refly seraya menyebut beberapa perkara yang sudah maupun sedang terjadi.
Bagaimana mungkin, orang berpendapat dianggap menyebarkan berita bohong. Lalu, versi yang benarnya kita tidak tahu.
Menurut Refly Harun, kalau pun misalnya, ada dua versi, kita tidak bisa mengatakan satu benar dan satu pasti salah. Kalau pun misalnya yang satunya salah, tidak bisa juga disebutkan menyebarkan berita bohong, kalau misalnya memang, ketika seseorang menyampaikan berita itu dia meyakini berita itu benar atau, paling tidak itulah informasi yang dia sampaikan atau dia dapatkan.
‘’Allahu Akbar, negara kita makin otoriter saja kalau bigini. Bayangkan, terlalu dipaksakan…”kata Refly lagi.
Saat memulai ulasannya, Refly menegaskan, ulasannya menyangkut tuntutan 3 tahun bui bagi Jumhur Hidayat. ‘’Sekali lagi, ini menyangkut hukuman, tuntutan bagi perbedaan pendapat,bagi kebebasan berpendapat, berekspresi, baik secara lisan dan tulisan dan tidak jelas kaitannya dengan kerusuhan dan lain sebagainya.’’
Mengutip detikcom, Refly mengungkapkan jaksa menuntut petinggi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Jumhur Hidayat dengan hukuman tiga tahun penjara.
Jumhur sendiri menyoroti hal yang memberatkan menurut pertimbangan jaksa. ‘’Saya dituntut tiga tahun dengan pemberatan karena saya pernah berjuang di era pemerintahan otoriter Orde Baru. Waktu itu saya di ITB dan dipecat dari ITB karena melawan atau memperjuangkan demokrasi, dan saya dipenjara 3 tahun, dan itu dianggap sebagai pemberat,’’ terang Jumhur yang juga dikenal sebagai aktivis di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Artinya, lanjut Jumhur, perjuangan kita mencapai demokratisasi dan berujung reformasi dianggap bukan apa apa. ‘’Itu kata kata pemberat kita, berjuang di era itu, itu tidak tepat.’’ ujar Jumhur usai mengikuti siding di PN Jaksel, Kamis (23/9).
Diketahui, dalam tuntutan jaksa, hal memberatkan untuk Jumhur adalah perbuatannya menimbulkan keresahan di masyarakat yang mengakibatkan kerusuhan 28 Oktober 2020, kemudian Jumhur dinilai tidak menyesali perbuatannya dan pernah dijatuhi hukuman penjara. Sedangkan hal meringankannya, Jumhur dinilai sopan.
Allahu Akbar, kata Refly. Bagaimana kita mau menyesali sebuah perbuatan yang hubungan sebab akibatnya saja tidak jelas. ‘’Ada kerusuhan, ada twit…kan gak nyambung. Sedahsyat ada twit itu bisa menyebabkan kerusuhan, kan aneh bin ajaib jadinya,’’ komentar Refly.(lya)
