16.8 C
New York
16/05/2025
Opini

Jelang May Day 1 Mei 2025: Hari Buruh Internasional, Mimpi Buruh Indonesia yang Masih Tertunda

Oleh: Opa Acheim
Wartawan Senior

 

SETIAP 1 MEI, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, sebuah momentum bersejarah yang lahir dari perjuangan panjang para pe kerja (buruh) menuntut hak-hak dasar mereka.

Di Indonesia, semangat May Day tetap membara, namun perjuangan buruh saat ini menghadapi tantangan yang kian kompleks, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, serta minimnya perlindungan hukum terhadap pekerja.

Buruh di Indonesia hari ini masih bergelut dengan masalah klasik yakni upah murah, kerja kontrak tanpa kepastian, minimnya jaminan sosial, dan lemahnya perlindungan hak berorganisasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, sekitar 36,1 juta orang bekerja di sektor informal yang rentan tanpa perlindungan ketenagakerjaan.

Sementara itu, rata-rata upah riil buruh tercatat stagnan, bahkan mengalami penurunan daya beli akibat inflasi yang melonjak pasca-pandemi.

Salah satu sumber ketidakadilan terbesar adalah Omnibus Law UU (Cipta Kerja). Meski pemerintah mengklaim bahwa undang-undang ini mendorong investasi dan membuka lapangan kerja, nyatanya di lapangan, banyak hak buruh yang dikorbankan, sebut saja:

  • Kontrak kerja tanpa batas waktu menjadi sah, menghapus prinsip kepastian kerja.
  • Outsourcing diperluas hampir di semua sektor tanpa batasan.
  • Pesangon yang diterima buruh terkena PHK jauh lebih kecil dibandingkan ketentuan sebelumnya.
  • Upah minimum menjadi fleksibel dan lebih mudah ditekan di bawah standar hidup layak.

Padahal, Mahkamah Konstitusi sendiri pada 2021 sempat memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun revisi cepat yang dilakukan justru tidak memperbaiki substansi yang merugikan buruh.

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia menghadapi gelombang PHK massal yang cukup besar, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan startup digital.

Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan (2024), sepanjang tahun 2023 saja tercatat lebih dari 128.000 pekerja terkena PHK, dan angka ini diperkirakan meningkat pada 2025.

Penyebabnya beragam, perlambatan ekonomi global, otomasi industri, hingga perubahan model bisnis digital.

Namun ironisnya, dalam banyak kasus, penyelesaian hak-hak buruh PHK sangat lamban dan tidak berpihak.

Banyak perusahaan menahan pesangon, memaksa buruh menandatangani surat resign untuk menghindari kewajiban hukum, atau memanfaatkan pasal-pasal Omnibus Law untuk memperkecil tanggung jawab.

Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI) pun dinilai tidak efektif. Prosesnya lama, biaya tinggi, dan seringkali hasilnya tidak berpihak kepada buruh yang berjuang sendirian menghadapi kekuatan korporasi.

Menyelesaikan masalah buruh di Indonesia butuh pendekatan sistemik dan multi-level

Untuk itu dalam menyambut May Day tahun ini, beberapa solusi penting yang perlu diperjuangkan antara lain, pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik yang otentik untuk menyusun undang-undang ketenagakerjaan baru yang berpihak pada kesejahteraan buruh, bukan semata-mata pada kepentingan investor.

Termasuk mereformasi mekanisme PHI agar lebih cepat, murah, dan pro-buruh, serta menghilangkan diskriminasi terhadap buruh kontrak dan outsourcing.

Penguatan serikat pekerja dan kebebasan berserikat harus menjadi bagian dari upaya menciptakan negosiasi kerja yang setara antara buruh dan pengusaha.

Negara wajib menjamin perlindungan sosial universal bagi seluruh pekerja, termasuk pekerja informal dan buruh lepas, agar tidak jatuh miskin saat kehilangan pekerjaan.

Pemerintah juga dituntut meningkatkan pengawasan ketenagakerjaan dan memberi sanksi tegas kepada perusahaan yang melanggar hak-hak buruh.

May Day di Indonesia bukan sekadar perayaan atau demonstrasi tahunan, melainkan refleksi dari perjuangan panjang yang masih jauh dari selesai.

Buruh Indonesia tidak hanya butuh penghargaan atas kerja keras mereka, tapi juga perlindungan dan kepastian (***)

Leave a Comment