POSSORE.ID, Bandung — Pagi itu, di sebuah ruang kerja yang sederhana namun penuh sentuhan estetika, Abdul Sobur duduk menatap rancangan lampu kayu yang tengah disempurnakannya. Di matanya, setiap lengkung, warna, dan tekstur bukan sekadar elemen desain—melainkan potongan kisah tentang budaya, tangan-tangan pengrajin, dan jati diri bangsa. Begitulah caranya memandang kriya: bukan hanya barang, tetapi peradaban yang hidup.
Lahir di Bandung, 10 Desember 1967, Sobur tumbuh di lingkungan yang memupuk kecintaan pada seni dan budaya. Ketertarikan itu menuntunnya menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus yang kelak menjadi tempat ia menimba ilmu dan mematri idealisme tentang desain yang berakar pada kearifan lokal. Dari kampus itu pula, ia meraih gelar Sarjana Seni Rupa Murni pada 1993 dan Magister Desain pada 2000, dengan fokus pada desain tradisional.
Kedua gelar itu bukan sekadar catatan akademik, melainkan fondasi bagi kiprah panjangnya sebagai desainer dan penggerak industri kriya. Ia memadukan nilai-nilai budaya Nusantara dengan kebutuhan pasar global—membuktikan bahwa tradisi dan modernitas bisa bersinergi, bukan saling meniadakan.
Sejak 1995, melalui PT Kriya Nusantara Group yang ia dirikan, Sobur menegaskan misinya: menjadikan kriya Indonesia bukan hanya simbol kebanggaan budaya, tapi juga kekuatan ekonomi kreatif yang berdaya saing. Di tangan dinginnya, kayu, logam, dan serat alam berubah menjadi karya bernilai tinggi yang menembus pasar internasional. Ia percaya, setiap produk kriya membawa identitas bangsa—dan tugasnya adalah memastikan identitas itu tetap tegak, di tengah gempuran globalisasi.
Perjalanan Sobur tak berhenti di dunia usaha. Ia juga terjun aktif di berbagai organisasi profesi. Mulai dari menjadi pengurus ASMINDo pada 2004, kemudian Sekretaris Jenderal AMKRI selama hampir satu dekade, hingga akhirnya dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) pada 2016. Dedikasi dan kepemimpinannya yang konsisten membuatnya terpilih sebagai Ketua Umum HIMKI sejak 2020 hingga kini.
Dalam kepemimpinannya, HIMKI berubah menjadi wadah strategis yang menggerakkan seluruh ekosistem industri mebel dan kerajinan. Ia mengajak semua pihak—dari pengrajin kecil hingga pelaku industri besar—untuk berkolaborasi, berinovasi, dan menegakkan etika dagang yang sehat. Visi besarnya sederhana tapi tegas: menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat produksi furnitur dan kriya dunia, berbasis keunggulan desain dan budaya.
Kiprah panjangnya di dunia seni dan desain telah menorehkan banyak penghargaan. Dari ASEAN Award of Excellence dan Seal of Excellence dari UNESCO, hingga Prestigious Artist Award dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Semua penghargaan itu adalah bukti konsistensinya menjaga mutu dan nilai budaya dalam setiap karya. Namun bagi Sobur, penghargaan sejati bukanlah trofi atau piagam, melainkan saat pengrajin di pelosok negeri bisa hidup layak dari kreativitasnya sendiri.
Potensi Besar Industri
Meski banyak capaian yang diraih, Abdul Sobur tak menutup mata terhadap realitas industri. Ia menyebut, potensi besar yang dimiliki Indonesia belum sepenuhnya termanfaatkan. Nilai ekspor mebel dan kerajinan kita masih tertinggal jauh dibanding Vietnam, padahal kita punya sumber daya alam melimpah dan warisan budaya yang tak ternilai.
Menurutnya, masalah utama bukan hanya soal regulasi atau logistik, tetapi mentalitas internal yang belum berubah. Industri ini masih kerap terjebak pada budaya meniru, bukan mencipta. Banyak produsen sekadar mengikuti katalog buyer, alih-alih menawarkan desain orisinal. Akibatnya, produk Indonesia sering dipandang hanya sebagai barang murah, bukan karya bernilai tinggi.
Selain itu, perang harga yang tak sehat kerap membuat industri kehilangan marwahnya. Saling banting harga demi order, tanpa memikirkan kualitas dan keberlanjutan. “Kita sendiri yang membuka ruang bagi buyer untuk menekan harga,” ujarnya suatu kali. “Padahal seharusnya kita bersaing dengan kualitas dan ide, bukan dengan angka.”
Ia juga menyoroti masih kuatnya mentalitas kuantitas di kalangan pelaku industri. Banyak yang mengukur keberhasilan dari berapa banyak kontainer terjual, bukan seberapa besar nilai tambah yang diciptakan. Kursi jati dari Jepara yang dijual seratus dolar di sini, bisa dilego seribu dolar di New York—dan nilai tambah itu tak dinikmati oleh pengrajin kita.
Lebih jauh lagi, ia mengingatkan tentang pentingnya kolaborasi. Negara-negara seperti Italia, Denmark, dan Jepang berhasil membangun kekuatan industri karena mereka punya semangat kolektif: Made in Italy, Danish Design, Monozukuri. Indonesia, katanya, justru masih sibuk dengan ego masing-masing.
Namun Sobur tidak ingin berhenti pada kritik. Ia percaya, perubahan dimulai dari keberanian untuk berbenah.
HIMKI, di bawah kepemimpinannya, mendorong orisinalitas dan inovasi sebagai kebanggaan baru, bukan sekadar mengikuti pesanan. Ia menyerukan agar pelaku usaha menegakkan etika dagang yang bermartabat, menghentikan perang harga, dan fokus pada penciptaan nilai tambah. Kolaborasi lintas sektor—antara pengusaha, desainer, pemerintah, dan akademisi—harus diwujudkan sebagai kekuatan bersama.
“Indonesia tidak boleh puas menjadi alternatif murah bagi buyer dunia,” katanya tegas. “Kita harus tampil sebagai pusat kreativitas, dengan mebel dan kerajinan yang tidak hanya kuat secara produksi, tetapi juga bermakna dan dihargai.”
Kini, di bawah komando Abdul Sobur, HIMKI bukan sekadar asosiasi industri, melainkan gerakan budaya. Gerakan untuk menegakkan martabat kriya Indonesia, agar dunia melihat bahwa dari tangan-tangan Nusantara, lahir karya yang bukan hanya indah dipandang, tetapi juga sarat makna dan nilai. Karena bagi Abdul Sobur, kriya bukan semata soal desain dan bisnis—melainkan cara bangsa ini menegakkan identitasnya di mata dunia. (aryodewo)
