JAKARTA, PosSore — Di balik kecintaannya pada serat alam dan kerajinan bambu, Iwan Sung memulai perjalanannya bukan dari bengkel kerja, melainkan dari dunia desain yang penuh perhitungan. Ia menekuni desain produk di Universitas Trisakti, Jakarta, dan melanjutkan dengan mendalami desain kerajinan tangan. Bagi Iwan, kerajinan tangan bukan sekadar seni, tetapi sebuah industri rumit yang memerlukan perhatian serius dari hulu ke hilir—sesuatu yang selama ini terpinggirkan di Indonesia.
Ketertarikan Iwan yang pernah bekerja — sebagai Kepala Bagian Research & Development (1996 – 1999) dan Sales Manager (1999 – 2003) di PT. Kemas Corrupad Indonesia pada desain sudah tumbuh sejak lama. Ia memulai karir sebagai desainer kemasan transportasi, bidang yang jarang dilirik orang. Saat banyak pihak abai pada pentingnya kemasan ramah lingkungan, Iwan justru telah mengembangkan pengganti styrofoam sejak tahun 1996. Sebuah terobosan yang jauh melampaui zamannya ketika isu lingkungan belum menjadi arus utama di industri.

Perjalanan bisnis Iwan kian mantap ketika ia membangun pabrik kemasan sendiri pada tahun 2003. Titik baliknya datang lima tahun kemudian, ketika Bobi Kandiwan dari Fairco Agung Kencana yang menjadi mentornya, mengajaknya mengembangkan kotak penyimpanan berbahan karton dan anyaman pandan untuk memenuhi permintaan besar dari IKEA. Tantangan memproduksi satu juta unit per tahun itu membawa ke dunia kerajinan tangan yang sesungguhnya.
Iwan Sung yang sejak 2023 sampai sekarang merupakan Founder CV. Eska Bersaudara menarikku terpesona dengan keunikan produksi kotak penyimpanan lipat ala IKEA. Ia mengatur pasokan bahan baku, metode produksi, hingga pengiriman kontainer mingguan dengan presisi. Keberhasilan proyek itu menggugahnya untuk menekuni kerajinan tangan secara serius. Pada tahun 2015, ia memutuskan menutup bisnis kemasan dan menggandeng investor untuk membangun industri kerajinan dengan fokus pada bambu.
PABRIK DI TASIKMALAYA
Awalnya, investor mengajukan pembangunan pabrik di Bima, Nusa Tenggara Barat. Namun, Iwan menilai infrastruktur dan tenaga kerja di sana belum memadai. Ia merekomendasikan Tasikmalaya sebagai lokasi yang lebih tepat, dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia dan bahan baku bambu yang berlimpah, tetapi belum tergarap optimal.
Ketertarikannya pada bambu juga dipicu oleh perkembangan pesat di China dan Vietnam, yang sudah mengekspor produk-produk bambu dalam skala besar. Sementara Indonesia masih berkutat di bidang kerajinan kecil. Iwan lalu memulai studi dan uji coba yang panjang sejak 2015, dan di 2018 ia berjuang masuk sebagai pemasok IKEA. Berbekal pengalaman sejak 1999 sebagai pemasok kemasan untuk IKEA di Indonesia, ia mampu menembus persyaratan ketat dengan lebih mudah dibandingkan pemain baru.
Bahkan sebelum pabrik bambunya berdiri, Iwan sudah berhasil mengekspor lima kontainer produk ke Belanda. Ia membuktikan, dengan memanfaatkan jaringan yang tepat, ekspor bisa dilakukan meski fasilitas produksi belum rampung. Baginya, kekuatan asosiasi seperti HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) menjadi kunci penting dalam membangun jejaring bisnis, baik ke industri hulu maupun hilir.
Dalam merancang desain produk bambu, Iwan selalu memulainya dari kebutuhan pengguna, kekuatan material, dan metode produksi. Estetika justru ia tempatkan di belakangan. Baginya, produk yang baik harus terlebih dahulu memenuhi aspek fungsional dan efisiensi produksi. Ia melihat bambu memiliki potensi yang besar, tidak hanya untuk dekorasi rumah, tetapi juga peralatan dapur, dekorasi dinding, hingga peralatan rumah tangga sehari-hari.
Namun, bambu punya musuh alami: kelembaban. Iklim tropis Indonesia menjadi tantangan berat karena kadar udara dalam bambu mudah berubah drastis begitu keluar dari proses pengeringan. Solusinya, Iwan mengembangkan teknik pengawetan alami dan pengontrol kelembaban ruangan, meskipun tetap menyadari karakter bambu yang secara alamiah menyerap udara dengan cepat.
Dukungan pemerintah, menurut Iwan, sangat dibutuhkan untuk membangun standar nasional yang selama ini belum ada. Ia berharap pemerintah dan asosiasi seperti HIMKI bisa berkolaborasi dalam menetapkan standar bambu Indonesia yang diakui secara internasional. Ia juga menekankan pentingnya penguatan jaringan pemasaran dan industri pendukung untuk mempercepat pembangunan sektor ini.
Sebagai Ketua Bidang Bahan Baku Bambu dan Serat Alam DPP Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Iwan terlibat dalam penyusunan roadmap bambu nasional yang digagas pada tahun 2024. Salah satu program pentingnya adalah Bambu Akademi, yang akan dijalankan mulai tahun 2025. Program ini mencetak master bambu Indonesia, baik di sektor hulu, proses antara, maupun bawah, agar setiap lini produksi memiliki tenaga ahli yang terstandarisasi.
Konsep Bambu Akademi juga mencakup pembangunan pusat logistik bahan baku siap pakai, sehingga para pelaku hilir dapat mengakses bahan seperti membeli kayu lapis di toko bangunan. Model ini diharapkan mempermudah pelaku industri kecil untuk memproduksi kerajinan tanpa harus berinvestasi besar dalam pengolahan bahan baku.
Penerima penghargaan Best Good Design Indoneisia Award, Buloo Sedotan Bambau, Good Desagn Japan 2019, Buloo Sedotan Bambau, Best Good Design Indonesia Award, Rotap dan Good Design Japa, Rotap ini membayangkan, jika ekosistem ini berjalan, ragam desain dan produk bambu dari Indonesia akan semakin kaya. Setiap daerah bisa melahirkan master bambu dengan ciri khas masing-masing. Indonesia tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga pusat inovasi bambu dunia. (aryodewo)