BALI (Pos Sore) — International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2014 berakhir Jumat (14/2). Dari hari pertama hingga hari terakhir konferensi, bahasan diskusi teknis sangat menarik.
Seperti yang dibahas pada hari kedua yakni soal Rangkaian ICOPE hari kedua, membahas antara lain isu efek gas rumah kaca dan intensifikasi ekologi dalam sesi paparan dan poster.
Dari rangkuman pembahasan tercatat bila dulu teknik budidaya pertanian dan perkebunan (agronomi) dipandang sebagai faktor terpisah dari terjadinya perbedaan rona alam bahkan dapat berpengaruh terhadap gejala perubahan iklim, kini berbagai penelitian mutakhir menunjukkan kedua isu terkait erat dan berbagai inovasi agronomi dapat memberikan kontribusi.
Dalam pembahasan yang menghadirkan diantaranya Rajanaidu dari MPOB Malaysia, W Foster dari Universitas Cambridge UK, Bram Hadiwijaya dari Smartri Indonesia, dan P. Andita dari PT REA Kaltim Indonesia itu diungkap bagaimana pembangunan perkebunan mampu berkontribusi dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), metode pengurangan emisi GRK di lahan gambut dan teknik pengelolaan serta pemanfaatan emisi GRK.
Topik Pengkajian Ekosistem dalam Pertukaran CO2 pada Tanah Bermineral dari Smartri dan Pengolahan Gas Metan di Kolam Limbah di Kaltim juga menjadi topik bahasan penting.
Sementara itu persoalan benih juga tetap menjadi topik bahasan aktual dalam forum dua tahunan kelapa sawit dan lingkungan ini.
Ternyata tanaman kelapa sawit menjadi penopang sub sektor perkebunan dengan tingkat produktivitas paling tinggi dibandingkan tanaman penghasil bahan minyak nabati.
Skala produktivitasnya 10 kali lebih tinggi daripada kedelai, dan tentu saja jauh di atas bunga matahari, canola, dan rapeseed. Fakta ini juga tidak terlepas dari besarnya peran riset dan pengembangan di sektor sawit yang telah dikenal luas.
Rajanaidu menyatakan sistem budidaya kelapa sawit yang memungkinkan penggunaan benih unggul untuk meningkatkan produktivitas buah sawit.
“Kemajuan dalam pengembangan tanaman pangan sangat tergantung dari ketersediaan varietas bibit yang memiliki berbagai karakteristik khusus sehingga mampu bertumbuh dan bertahan dalam kondisi tertentu”, jelas sosok senior di Dewan Minyak Sawit Malaysia ini.
Sementara itu isu menarik lain tentang pemanfaatan jasa ekologi dalam agronomi juga turut disajikan. Salah satu metode intensifikasi ekologi adalah pengembangbiakan predator tertentu yang berguna dalam membasmi hama.
Keberadaan predator alami juga meminimalisir penggunaan obat dalam mengendalikan hama, misalnya pengembangbiakan burung hantu dalam membasmi hama tikus.
Teknik ini merupakan salah satu inovasi yang diterapkan secara luas dalam praktik intensifikasi ekologis di hampir kebanyakan perkebunan kelapa sawit.
Fungsi ekosistem dirumuskan kembali dalam konteks industri perkebunan kelapa sawit. Mengenai hal ini pemaparan William Foster dari Cambridge University, Inggris mengenai studi The Biodiversity and Ecosystem Function in Tropical Agriculture (BEFTA) yang mengambil area penelitian di Riau juga dapat semakin menjelaskan kompleksitas keanekaragaman hayati dan peran vital dari fungsi ekosistem. (fent)