JAKARTA (Pos Sore) — Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2008 Prof. Jimly Asshidiqie, mengatakan, Indonesia saat ini tengah menghadapi darurat peradaban hukum.
“Potret penegakan hukum di Indonesia kian semrawut. Hakim ditangkap, jaksa bermasalah. Institusi Polri juga dihantam dengan berbagai persoalan,” katanya.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional bertajuk “Darurat Peradaban Hukum, Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif”.
Seminar yang dimoderatori Dr Muchtar dan Dr Susetya Herawati, ini digelar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), di Kampus Unkris, Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat, Rabu 19 Oktober 2022.
Kedua pihak berkolaborasi sebagai salah satu cara urun rembug dari para akademisi dan praktisi hukum terkait poin-poin penting reformasi hukum di Indonesia.
Kegiatan seminar nasional tersebut diikuti oleh sekitar 250 peserta yang hadir secara luring di kampus Unkris dan lebih dari 1000 peserta yang hadir secara daring.
Prof. Jimly melanjutkan, tertangkapnya seorang Hakim Agung melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini menjadi pukulan telak dan berat terhadap lembaga peradilan sebagai puncak dari Benteng Keadilan Indonesia.
Belum lagi adanya fakta-fakta sebanyak 85 Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial pada rentang waktu antara Januari hingga November tahun 2021.
Tidak hanya itu, organisasi advokat juga dirundung perpecahan. Akibatnya, penegakan hukum berjalan tidak semestinya.
Bisa dibilang, mulai dari hulu hingga hilir kondisi peradaban hukum Indonesia saat ini sedang mengalami masalah berat sehingga masuk kondisi darurat.
“Karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk perbaikan dengan menghimpun ide-ide cemerlang dari para pakar dari dunia perguruan tinggi dan juga praktisi,” lanjut Prof. Jimly.
Menurutnya, keadaan darurat itu bukan saja terjadi secara sektoral, yang dapat dilihat sepenggal-sepenggal. Melainkan sudah menyeluruh. Mulai dari lini dan jaringan fungsi-fungsi pembentukan hukum (law making functions).
Termasuk juga fungsi-fungsi penerapan hukum (law applying functions), sampai ke lini dan jaringan fungsi-fungsi penegakan hukum (law enforcing functions).
Padahal ketiga fungsi tersebut sebagai suatu kolektifitas peradaban Negara Hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
“Hukum adalah panglima tertinggi dalam kegiatan bernegara. Namun, prinsip negara hukum Indonesia dewasa ini harus diakui sedang menghadapi ancaman baru,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara ini.
Ancaman baru yang dimaksud yaitu dinamika politik dan ekonomi pasar bebas — sering juga disebut demokrasi dan ekonomi pasar. Dinamika ini mengakibatkan semua kekayaan dan semua jenis jabatan bernegara menjadi komoditas yang diperebutkan melalui mekanisme pasar bebas,” kata Prof Jimly.
Situasi peradaban negara hukum yang berada dalam keadaan darurat ini, lanjut Prof Jimly, membutuhkan langkah-langkah perbaikan.
“Kalau Presiden tidak turun gunung menyelesaikan berbagai persoalan di lembaga-lembaga yudikatif ini, dikhawatirkan penegakan hukum di Indonesia mengalami chaos,” kata Prof Jimly, begawan hukum ini.
Menurutnya, tahun ini menunjukkan penegakan hukum menuju kesuraman. Padahal, secara kewenangan sebagai Pemimpin Negara, Presiden harusnya bisa turun langsung.
Presiden harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan aturan-aturan hukum di Indonesia. Tidak cukup dengan sekedar menasihati, tapi butuh action dan ketegasan.
“Panggil para pembantunya dan lakukan evaluasi dengan serius, sehingga masyarakat bisa melihat kesungguhan Presiden dalam menegakkan hukum,” tandas Ketua Bidang Hukum Tim Nasional Reformasi Nasional Menuju Masyarakat Madani 1998-1999 ini.
Mantan Hakim Agung Prof. Gayus Lumbuun, yang juga Guru Besar Unkris, membenarkan apa yang disampaikan oleh Prof. Jimly. Menurutnya, kedaulatan peradaban hukum saat ini sudah dirasakan masyarakat kondisinya memang darurat.
“Dalam arti memang keadaannya abnormal dari yang seharusnya. Padahal, peradaban adalah satu identitas yang isinya adalah bagaimana akhlak dan kehormatan yang seharusnya dipertahankan oleh lembaga-lembaga penegak hukum,” tandas pakar hukum pidana ini.
Lantas, menghadapi kondisi kedaruratan apakah bisa presiden mencampuri urusan peradilan? Menurut Prof. Gayuus, tentu sangat bisa. Indonesia punya trias politika tetapi tidak dengan pemisahan kekuasaan, melainkan distribusi kekuasaan.
Menurut Prof. Gayus, presiden bisa mencampuri semua aspek sebagai kepala negara tertinggi dan sebagai pemimpin bangsa tertinggi. Presiden juga mempunyai kewenangan yang bisa masuk ke banyak-banyak lembaga lain. Tentu saja dengan catatan ketika keadaan itu darurat.
“Nah ini darurat kita ini sekarang. Lembaga penegak hukum mana yang tidak sedang bermasalah hari ini? Semuanya bermasalah,” tukas Hakim Agung periode 2016-2018 ini.
Dari kepolisian kita semua menyaksikan, lalu kejaksaan sama, dengan berbagai kasus terjadi. Kemudian di KPK, kok ada pimpinan KPK yang bermasalah boleh mundur begitu saja tanpa proses hukum maupun proses etik.
Kemudian terakhir puncaknya adalah skandal di Mahkamah Agung ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) Hakim Agung. Belum lagi adanya laporan yang masuk ke Komisi Yudisial (KY) atas 85 hakim di tahun 2021 kemarin.
Ia menjelaskan, dalam seminar ini para praktisi hukum advokat dan kalangan akademisi mencoba menyampaikan pandangan, sejauh mana seorang presiden bisa masuk lembaga yudikatif.
Prof Gayus menyadari agenda reformasi lembaga peradilan terutama Mahkamah Agung (MA) beserta jajaran di bawahnya bukanlah pekerjaan mudah. Penyebabnya apa lagi kalau bukan kuatnya resistensi terutama dari dalam MA sendiri.
Memang telah dibentuk Komisi Yudisial secara konstitusional. Belum lagi berbagai upaya dari berbagai organisasi masyarakat pemantau lembaga peradilan yang mengawal reformasi lembaga peradilan. Namun seolah-olah tidak bisa tersentuh.
“Di lembaga tersebut seolah-olah tidak dapat disentuh oleh kekuasaan lainnya termasuk oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai Pemimpin Tertinggi di Negara RI,” jelas Prof Gayus.
Dengan dalih argumentasi Indipendensi Hakim dan Lembaga Peradilan. Jadi, tidak ada kemampuan membongkar dan membenahi dengan cara melakukan perombakan.
Peran strategis presiden sebagai Kepala Negara merupakan konsekuensi sistem Presidensial yang menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara menjadi tokoh sentral dalam sistem Kenegaraan Republik Indonesia.
Termasuk dalam mengatasi persoalan di bidang penegakan hukum yang sedang mengalami krisis “Peradaban Hukum” .
Prof Gayus berpendapat ada 2 kebijakan Presiden sebagai arti konkritnya reformasi yang perlu dilakukan dalam mengahadapi Darurat Peradaban Hukum ini.
Pertama, dengan cara mengevaluasi hakim-hakim di semua tingkatan. Di tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari kurang lebih 300 Pengadilan Negeri (PN). Sementara itu, di tingkat Provinsi terdapat kurang lebih 35 Pengadilan Tinggi dan di MA terdapat sekitar 48 Hakim Agung.
Kedua, perlunya pembentukan Lembaga Eksaminasi Putusan sebagaimana yang disuarakan publik secara luas dan dianggap kontroversial. Usulan ini muncul akibat putusan hasil perkara terjadi penyimpangan oleh hakim terutama yang tertangkap oleh penegak hukum lainnya, sehingga menimbulkan merugikan.
“Eksaminasi putusan ini penting sebagai bentuk control publik terhadap kepedulian kepada korban penyimpangan oleh hakim sebagai kekuasaan yang disalahgunakan sehingga merugikan masyarakat,” kata Prof. Gayus.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Prof. Otto Hasibuan, pun perpandangan sama jika Indonesia saat ini dalam keadaan darurat peradaban hukum. Karena itu, presiden harus turun tangan dan jadi back up dalam membenahi masalah penegakan hukum.
“Presiden harus turun tangan menegakkan kembali peradaban hukum di Indonesia. Terlebih semua aspek lembaga di yudikatif mengalami masalah berat. Tanpa campur tangan Presiden, sulit mengharapkan penegakan hukum di Indonesia akan berjalan lebih baik,” tandasnya.
Menurut Prof Otto, jika presiden tidak turun tangan langsung, maka kondisi darurat peradaban hukum seperti sekarang ini tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Menurutnya, law enforcement adalah suatu keniscayaan untuk memajukan bangsa. Sebab, kalau masyarakatnya tidak tertib, banyak korupsi, pungli, dan sebagainya, lantas siapa yang mau berinvestasi di Indonesia?
Bagaimana agar peradaban hukum kembali “ke jalan yang lurus dan benar”? Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Hartanto mengatakan, Presiden harus melakukan diskresi dalam upayanya menegakkan peradaban hukum.
“Dalam seminar ini kami akan memberikan rekomendasi dan masukan kepada presiden tentang diskresi ini,” kata Hartanto.
Sementara itu, dalam sambutannya, Rektor Unkris Prof. Ayub Muktiono mengajak sivitas akademika untuk mengembangkan paradigma kritis guna memajukan pendidikan. Termasuk permasalahan di bidang hukum.
Ayub tidak memungkiri, di segala sisi kehidupan dari hulu ke hilir dalam kondisi darurat. Peradaban hukum kita dalam kondisi darurat.
Lihat saja, pengacara banyak yang dipidana, polisi juga yang melanggar hukum. Polisi Bintang tapi terlibat narkoba.
Waketum KPK juga mundur, Kejagung OTT KPK. Dan yang amat merontokkan martabat hukum dengan ditetapkannya hakim agung sebagai tersangka.
“Bagaimana reformasi hukum, apakah harus ada UU dulu baru reformasi. Seminar ini mencoba memberikan masukan kepada presiden untuk selamatkan bangsa dan negara,” tukasnya.
Unkris sendiri memiliki perhatian tinggi terhadap masalah hukum di Indonesia sejak awal didirikan hingga sekarang. Karena itu, secara berkala, para akademisi di bidang hukum melakukan kajian-kajian terhadap persoalan hukum terkini.
Salah satunya adalah masalah reformasi bidang hukum. Prof Gayus sendiri pernah mencetuskan ide ini ketika pada 2016 saat diajak berdiskusi empat mata dengan Presiden Joko Widodo.
“Karena itu, kita hadirkan para pakar bidang hukum untuk menghimpun masukan penting reformasi hukum selain tentu saja pemikiran para pakar dan akademisi hukum internal Unkris, menghimpun ide-ide cemerlang para pakar hukum,” katanya.
Sumber:
kompasiana.com