17/11/2025
AktualNasional

Indonesia Alami Perapuhan Nilai-nilai Kebangsaan, Saatnya Membangun Jiwa Pancasila

JAKARTA (Pos Sore) — Indonesia dikhawatirkan sedang mengalami perapuhan nilai-nilai kebangsaannya. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen ini. Bahkan sampai sampai saat ini kita masih merasakan fenomena terpolarisasinya kelompok masyarakat hanya karena perbedaan aspirasi politik.

“Saat ini, ketika kita menghadapi pandemi Covid-19 yang dampaknya begitu luas, semangat dan rasa kebangsaan kita kembali menghadapi ujian. Terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Rabu (28/7/2021)

Menurutnya, perapuhan nilai-nilai kebangsaan ini seringkali juga dipicu oleh perilaku beberapa elite politik yang justru menjadi faktor pemecah belah. Mereka kerap menggunakan sentimen primordial seperti sentimen suku dan agama yang hidup di masyarakat untuk memobilisasi dukungan dalam Pilpres dan Pilkada.

“Politisasi sentimen primordial seperti ini dalam banyak kasus membuat terbelahnya kelompok masyarakat yang sangat tajam sehingga pada eskalasi tertentu berpotensi mengancam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang sudah kita sepakati bersama sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia,” tegasnya.

Ia menyampaikan hal itu saat memberikan pengantar FGD dengan topik “Membangun Jiwa Pancasila”, Rabu (28/7/2021), secara online. FGD ini sendiri membedah draf buku “Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila” yang sudah memasuki tahap finalisasi.

Buku ini disusun oleh Aliansi Kebangsaan dan Forum Rektor Indonesia bekerjasama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YSNB), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Harian Kompas.

Adapun buku ini disusun berdasarkan rangkuman dari berbagai pemikiran dan gagasan yang berkembang selama pelaksanaan Diskusi Serial dalam kurun waktu dua tahun sejak 20 Maret 2019. Agar buku ini mendapat keabsahan secara sosiologis dan diterima khalayak, maka diadakan Focus Group Discussion (FGD).

“Bisa dibilang FGD ini sebagai uji sahih atau uji publik agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini bisa diterima dan menjadi rujukan oleh masyarakat secara luas,” kata Pontjo Sutowo yang juga Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB).


FGD ini menghadirkan Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. Arif Satria, dengan narasumber Prof. Bambang Wibawarta (Guru Besar UI), Prof. Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia), dan Yudi Latif Ph.D (pakar Aliansi Kebangsaan), serta ditanggapi oleh Dhitta Putti Sarasvati dan Karina Adistiana (keduanya aktivis pendidikan).

Pontjo mengatakan, buku ini juga diperkaya dengan hasil-hasil studi literatur, maupun kegiatan diskusi lainnya. Sementara FGD ini dirancang untuk mendiseminasikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini.

Dikatakan, buku ini menawarkan pendekatan baru dalam membangun kebangsaan yang berperadaban melalui “jalan kebudayaan (cultural way)”. Pendekatan ini meliputi tiga ranah utama kehidupan sosial yaitu: ranah mental spiritual (tata nilai), ranah institusional political (tata kelola), dan ranah material teknologikal (tata sejahtera) berdasarkan paradigma Pancasila.

Pendekatan dan paradigma ini, akan
terus disosialisasikan sebagai tolok ukur paradigmatik dalam mengembangkan dan menguji pembangunan nasional kita.

Adapun yang dikritisi dalam buku ini, terutama pada bagian “Ranah Mental Spiritual”, yang diyakini menjadi faktor penentu keberhasilan (determinant factor) bagi kemajuan suatu bangsa.

Hal ini juga telah disadari oleh Presiden Bung Karno sehingga bertekad menjadikan pembangunan karakter bangsa (character building) sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Bung Karno menyebutnya dengan “Nation and Character Building”.

Begitu pentingnya pembangunan ranah mental spiritual (karakter) bagi suatu bangsa maka banyak kalangan melakukan studi mencari hubungan “mental spiritual/karakter” dan “pembangunan/kemajuan” sebuah bangsa.

Salah satu penganjur utamanya di Indonesia adalah Prof. Koentjaraningrat yang menautkan antara mentalitas dan pembangunan. Kim & Jaffe misalnya, dalam bukunya “The New Korea” (2013), juga mengungkapkan bangsa Korea menjadi maju karena karakter bangsanya.

Demikian juga yang dikemukan oleh Jared Diamond dalam bukunya “Collapse”
(2014) bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang —
terkait sistem nilai atau budaya– bangsa tersebut.

Akibat terjadinya perapuhan nilai-nilai kebangsaan, Yudi Latif dalam tulisannya di Kompas pada 11 Oktober 2018 mengilustrasikan bahwa bangunan negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang.

Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi atau sirna ilang kertaning bumi.


Sementara itu, The Fund For Peace dalam laporan pengukuran Indeks Negara Gagal atau “Fragile State Index” tahun 2021 ini, masih menempatkan Indonesia masuk dalam kategori “warning” sebagai negara gagal.

Indonesia menduduki ranking 99 dari 179 negara dengan skor 67,6. Menurut analisa beberapa pakar terhadap temuan “The Fund For Peace” ini, ada sejumlah faktor yang
menyebabkan Indonesia berada pada kategori ini antara lain karena persoalan-persoalan budaya seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman (pluralitas) dan kebangsaan kita.

Upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia,
tentu harus selalu kita upayakan, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi “common domain” yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk.

Menurut Christine Drake dalam bukunya:
“National Integration in Indonesia (1989)” ada beberapa faktor yang dapat
dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain bangsa
Indonesia. Yaitu kesamaan sejarah; kesamaan atribut-atribut sosial
budaya; saling ketergantungan antar daerah, kehendak untuk hidup bersama.

Selain faktor-faktor tersebut, ada satu faktor penting yang kita miliki yaitu Pancasila sebagai “shared values” yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya “common domain” ke-Indonesia-an tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya.

“Karena itulah dalam buku ini kita mendorong agar Pancasila dijadikan sebagai paradigma atau “kerangka operasional” dalam membangun kebangsaan Indonesia,” katanya.

Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan
“common domain” bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan kita, namun kita merasakan adanya berbagai “paradoks” dalam realitas kebangsaan kita hari ini.

“Kita memiliki Pancasila yang disepakati sebagai ideologi kebangsaan kita, namun
kenyataannya kita seakan menjauh darinya. Dalam konteks paham pluralisme
sebagai paham kebangsaan kita, ada beberapa fenomena yang menguatkan
sinyalemen paradoksial tadi,” ungkapnya. (tety)

Leave a Comment