-0.1 C
New York
02/12/2024
Aktual Nasional

IDI Buka Suara, Sanksi dr. Terawan Melalui Proses Panjang

JAKARTA (Pos Sore) — Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Kamis, 31 Maret 2022 akhirnya menyampaikan kepada publik hasil Sidang Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh. Pernyataan ini disampaikan melalui jumpa pers secara virtual melalui zoom meeting.

Sebagaimana diketahui, salah satu keputusan muktamar tersebut, adalah memberhentikan secara permanen dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad dari keanggotaan IDI. Keputusan ini memunculkan pro kontra masyarakat Indonesia.

Keputusan muktamar tersebut harus dijalankan PB IDI dalam waktu 28 hari kerja sejak keputusan ditetapkan pada 25 Maret 2022.

Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, yang juga juru bicara IDI dr. Beni Satria, mengatakan, pemberhentian dr. Terawan sudah melalui proses yang panjang.

Keputusan memang dibacakan saat Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh. Tapi keputusan ini melalui proses panjang. Prosesnya sejak 2013 yang berarti 9 tahun lamanya.

Jadi, bukan serta merta langsung memutuskan “pemecatan”. Ada proses panjang yang bertahun-tahun lamanya. Proses yang melalui telaah dan mekanisme yang berlaku.

Disampaikan, keputusan mengeluarkan dr. Terawan juga adalah kelanjutan dari hasil muktamar IDI sebelumnya di Samarinda pada 2018. Terlebih, dr. Terawan tidak menunjukkan itikad baik untuk memenuhi rekomendasi-rekomendasi IDI.

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI periode 2021-2024, dr. Djoko Widyato JS, DHM, M.H.Kes, juga hadir dalam kesempatan itu. Ia mengatakan, pemberhentian tetap terhadap anggota karena sudah melakukan pelanggaran etik berat.

“MKEK memang diberi kewenangan untuk memberikan rekomendasi apakah anggota IDI layak atau tidak dicabut keanggotannya dari IDI,” katanya.

Ia menambahkan, MKEK sendiri mencatat setidaknya ada empat alasan mengapa dr. Terawan harus diberi sanksi pemberhentian kepada mantan tim dokter kepresidenan itu.

Kesalahan pertama, dr. Terawan belum menyerahkan bukti telah menjalankan sanksi etik MKEK yang diberikan pada 2018. Saat itu, dr. Terawan terbukti melanggar etik untuk terapi pasien stroke dengan metode intra arterial heparin flushing (IAHF) atau metode cuci otak.

Berdasarkan hasil investigasi Satuan Tugas Kementerian Kesehatan dan juga pandangan berbagai pakar IDI, metode tersebut tidak memiliki bukti ilmiah. Karena itu, terapi untuk pasien dinyatakan melanggar etik kedokteran.

Kesalahan kedua, yang bersangkutan sudah mempromosikan vaksin Nusantara ke masyarakat, padahal risetnya belum tuntas.

Kesalahan ketiga, ia bertindak sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) tanpa melalui prosedur IDI.

Terawan juga melalui posisinya sebagai Ketua meminta semua cabang PDSRKI tidak menghadiri acara Pengurus Besar IDI.

Jadi, keputusan pemecatan dr. Terawan dari keanggotaan IDI sudah menjadi keputusan muktamar yang disetujui pemilik hak suara, yaitu 450 cabang IDI.

Keputusan pleno ini adalah perwujudan dari aspirasi IDI dari seluruh Indonesia yang diwakili utusan cabang-cabang.

Sesuai dengan AD/ART dan Ortala (organisasi tata laksana) bahwa “muktamar mempunyai kekuasaan dan wewenang mengesahkan pemberhentian tetap anggota IDI”.

Dokter Joko Widyarto menyebutkan profesionalisme dokter meliputi tiga komponen. Salah satu komponennya adalah professional attitude atau etika kedokteran.

Sebagaimana bunyi sumpah dokter di kalimat terakhir adalah “saya akan menaati kode etik kedokteran Indonesia”. Kode etik kedokteran ini berlaku bagi dokter Indonesia dan dokter di seluruh Indonesia, baik dokter WNI ataupun WNA.

“Sumpah dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia ini menjadi dua koridor dua yang sebenarnya menjadi pegangan bagi setiap profesi dokter di Indonesi,” tandasnya.

Kalau dibaca-baca apa yang sudah diputuskan dalam sidang kemahkamahan pada 2018, pertimbangannya cukup banyak. Tidak serta. Ini yang harus dipahami bersama

Dalam Muktamar Samarinda pada 2018 terdapat satu keputusan dalam kasus dr. Terawan. Jika yang bersangkutan tidak ada indikasi itikad baik, mungkin bisa diberikan pemberatan untuk sanksinya.

Namun, keputusan tersebut belum terlaksana dab sempat tertunda dengan pertimbangan khusus. Lalu pada Oktober 2019, Ketua Umum PB IDI menyatakan sanksi tersebut mulai berlaku.

Sementara itu, Ketua Umum PB IDI Dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT, dalam pernyataannya, menyampaikan, seluruh dokter di Indonesia terikat dan tunduk pada norma dan etik profesi kedokteran.

Dalam berorganisasi, sebagaimana organisasi-organisasi profesi lainnya, anggota organisasi harus tunduk dan patuh pada AD/ART organisasi.

Jika tidak, ada sanksi yang diberlakukan. Mulai dari menegur, memberikan surat peringatan hingga dikeluarkan sebagai anggota organisasi.

Sebagai organisasi, IDI melakukan pembinaan dan penegakan standar norma dalam profesi kedokteran. Ini dilakukan guna menjamin hak-hak dokter dan keselamatan pasien.

Hal ini sejalan dengan Undang Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 2004. UU ini menekankan perlunya pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.

Tujuannya, untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter dan dokter gigi.

“Praktik Kedokteran harus dilaksanakan
dengan berasaskan Pancasila. Harus juga berdasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan keselamatan pasien,” tegasnya.

Ia menegaskan, amanah yang disampaikan dalam UU Praktik Kedokteran sudah sangat jelas. Bahwa pengaturan praktik kedokteran bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien.

Selain itu, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi. Juga memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Dikatakan dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Hal ini merujuk pada pasal 50 UU Praktik Kedokteran.

“Penerapan standar profesi dan standar prosedur operasional merupakan kunci dalam menjamin pelayanan yang bermutu kepada pasien dan perlindungan hukum bagi dokter,” tandasnya.

Menurutnya, Kode Etik Kedokteran menjadi norma penting dalam menjalankan praktik kedokteran. Tentu juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

IDI sendiri jelas sangat konsen mendukung pemerintah dalam mencapai tujuan Praktik Kedokteran sebagaimana diatur dalam Undang Praktik Kedokteran.

“Setiap dokter Indonesia di manapun berada di negeri ini, selama berkaitan dengan aktifitas profesinya, akan terikat dengan standar-standar, kode etik, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tambahnya.

Harus diingat, dokter Indonesia berperan sebagai agent of treatment, agent of development, agent of change, dan pada 2017 ditambahkan peran penting sebagai agent of defence .

PB IDI adalah struktur kepemimpinan tertinggi organisasi IDI. Sementara itu, Muktamar IDI adalah kekuasaan tertinggi organisasi IDI sebagai forum pelaksanaan kedaulatan seluruh anggota Ikatan Dokter Indonesia.

Dalam Muktamar ke-31 IDI kemarin, selain mengukuhkan Dr. Moh. Adib Khumaidi,
SpOT menjadi Ketua PB IDI Periode 2022 – 2025, juga memutuskan Terpilih President Elect dr. Slamet Budiarto, S.H., M.H Periode 2022 – 2025.

Mukhtamar IDI juga memilih Dr. dr. Setyo Widi Nugroho, SpBS(K) sebagai Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) dan Dr. dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD-KKV sebagai Ketua Majelis Perkembangan Pelayanan Keprofeian (MPPK).

Sumber: IDI Buka Suara, Beberkan Kesalahan dr Terawan

Leave a Comment