27/11/2025
AktualEkonomi

Hilirisasi Kayu Diambang Ancaman: Pesan Penting dari Musda HIMKI Cirebon Raya

Kayu bulat mungkin hanya bernilai US$150–200 per m³. Tetapi ketika diolah menjadi furnitur, nilainya bisa mencapai US$2.000–5.000 per m³. Membuka kembali ekspor log, kata Sobur, artinya kembali memilih jalan lama—jalan pendek, cepat, tetapi penuh risiko bagi keberlanjutan industri.

Ia membandingkan dengan Vietnam, negara yang melarang ekspor log sejak 1992 dan kini ekspor furniturnya menembus US$17 miliar. “Vietnam menjadi besar bukan karena menjual kayu, tetapi karena mengolahnya.”

UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sudah sangat tegas: negara wajib menyediakan bahan baku untuk industri dalam negeri dan membatasi ekspor bahan mentah ketika mengancam pasokan. Karena itulah HIMKI menilai relaksasi ekspor log sebagai kebijakan yang berpotensi menabrak amanat hukum sekaligus melemahkan pondasi hilirisasi nasional.

Ini bukan sekadar soal kayu, tetapi soal masa depan 2,1 juta tenaga kerja yang   menggantungkan hidup dari industri furnitur dan kerajinan.

Namun HIMKI sendiri kata Sobur, tidak berhenti pada penolakan. Organisasi yang dia pimpin juga menawarkan solusi teknis dan konsolidatif: pertama menolak relaksasi ekspor kayu bulat dan kayu gergajian, kedua mendorong kebijakan pengurangan diameter kayu sebagai alat kendali yang cerdas, dan tiga memperkuat integrasi hulu–hilir berbasis tata kelola dan efisiensi logistik. Intinya: bukan mengekspor batang kayu, tetapi menjaga agar kayu terbaik mengalir ke industri nasional.

Cirebon & Jepara

Musda HIMKI Cirebon Raya hari itu bukan sekadar pergantian kepemimpinan. Ia adalah pengingat bahwa Cirebon dan Jepara telah membuktikan, dengan sejarah panjangnya, bahwa hilirisasi adalah jalan kemandirian ekonomi bangsa.

Hilirisasi bukan pilihan retoris. Ia adalah keputusan strategis sebuah bangsa yang ingin berdiri tegak di tengah persaingan global. “Kita tidak sedang memperdebatkan kayu,” tegas Sobur. “Kita sedang memperjuangkan masa depan 2,1 juta keluarga Indonesia.”

Dan di ruangan itu—di Bandar Jakarta Cirebon—masa depan itu seperti kembali memancarkan sinarnya: hangat, terukur, dan tetap berakar pada kerja kolektif yang selama ini menjadi kekuatan para perajin dan industriawan Cirebon Raya.(aryodewo)

Leave a Comment