Oleh Prof. Dr. Haryono Suyono
SELAMA masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, kedua calon dengan mantab setuju bahwa dana yang jumlahnya tidak kurang dari satu milyar akan dialirkan langsung ke pedesaan. Ada yang menyebut bahwa dana itu akan memperbaiki sarana dan prasarana di pedesaan, ada pula yang menyebut bahwa dana itu akan menjadi modal utama untuk membangun kekuatan ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat desa yang masih miskin dan jauh dari kesempatan mengolah sumber daya yang melimpah di daerah pedesaan.
Promis tersebut benar karena prasarana di pedesaan masih sangat jauh dari memuaskan sehingga produk pedesaan menjadi sangat mahal untuk dibawa ke pasar-pasar yang menjadi pusat perdagangan yang luas. Disamping itu, sumber daya yang melimpah tidak begitu saja bisa diolah menjadi produk laku jual dan menguntungkan. Sumber daya alam itu perlu digali dan diproses dengan memanfaatkan tehnologi yang sanggup secara masal dan dengan kualitas tinggi merubahnya menjadi produk dengan ongkos yang murah agar bisa bersaing dengan produk industri yang dengan sekejap dapat menciptakan produk dengan efisien dan ongkos yang sangat murah.
Salah satu syarat yang harus dilakukan agar keluarga desa bisa mengambil peran aktif dan merasakan hasil menggelontornya aliran dana yang secara besar-besaran dialirkan ke desa adalah menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan terampil serta sanggup melihat se keliling dan memanfaatkan segala sumber yang ada dengan baik. Pengembangan sumber daya manusia itu adalah suatu proses yang panjang, lama dan melelahkan. Alasannya, modal utama yang dimiliki adalah sumber daya manusia yang tidak selalu muda atau mempunyai pendidikan dasar yang memadai sehingga tidak secara instan dapat dilatih menjadi sumber daya yang terampil atau siap bekerja.
Ada dua kelompok besar yang tersedia melimpah di pedesaan. Satu kelompok adalah penduduk di atas usia 15 tahun yang di masa lalu tidak sempat mengenyam pendidikan lebih dari tingkat SD, SMP atau SMA. Umumnya sangat terbelakang, tidak banyak pengalaman dan jumlahnya tidak kecil, lima puluhan juta atau lebih. Kelompok kedua adalah anak-anak muda di bawah usia 15 tahun yang harus diajak melihat ke depan, menyiapkan diri untuk sanggup sekolah setinggi-tingginya agar bisa menjadi tenaga terdidik dan terampil, siap menjadi entrepreneur pedesaan mengubah seolah olah “sampah” yang melimpah menjadi berkah.
Biarpun kita harus berpikiran besar, para pemimpin baru harus sabar untuk berpikir sederhana, inovatif dan sistematis yang dengan sabar menciptakan, merancang dan melaksanakan program-program dan kegiatan sederhana dengan tujuan mengajak semua kalangan untuk ikut berpartisipasi dalam usaha besar-besaran terjun dalam kegiatan awal yang sederhana dan sangat massif. Gerakan itu adalah merangsang dan menarik secara konkrit setiap penduduk bekerja menghasilkan produk yang laku jual secara langsung dan menguntungkan. Kita perlu banyak entrepreneur pedesaan yang sanggup menciptakan lapangan kerja yang mengolah sumber daya alam yang tersedia melimpah melalui penggunaan tehnologi sederhana agar sangat banyak penduduk yang terlibat. Terlibatnya penduduk secara masal menjadi syarat utama untuk membangun budaya kerja keras dikalangan masyarakat luas di pedesaan.
Seiring dengan pengembangan budaya kerja keras ini, perlu segera dilakukan pendidikan dan pengajaran bagi generasi muda dengan sistem yang mengedepankan pembangunan jiwa dan karakter anak muda bangsa yang inovatif, kreatif dan sangat menghargai munculnya gagasan, penciptaan dan penggunaan serta kecintaan terhadap produk-produk anak bangsa yang membuat kebanggaan secara nasional. Kampanye penggunaan dan kebanggaan menggunakan produk-produk lokal harus menjadi prioritas utama agar kegiatan awal secara massif ditingkat pedesaan mendapat pasar domestik yang luas dan dahsyat.
Tanpa adanya pasar yang dengan bangga siap membeli dan mempergunakan produksi lokal itu hampir pasti produksi masal yang diciptakan untuk menarik partisipasi masyarakat bisa berakibat bahwa masyarakat luas dan kualitasnya yang masih sangat terbatas hanya akan mampu menjadi penonton dari aliran dana yang secara massif mengalir ke desa. Dana yang melimpah akan menjadi bulan bulanan pengusaha perkotaan yang sekedar mengalihkan tempat usahanya ke pedesaan dan menempatkan keluarga dan penduduk desa sebagai penonton dan konsumen yang tetap miskin, bekerja keras tetapi tetap harus membayar mahal biaya konsumsi hidupnya yang sederhana.
Dengan kata lain, mengalirnya dana secara besar-besaran ke pedesaan perlu dibarengi dengan mengalirnya kesempatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi generasi muda dengan arahan menyiapkan tenaga kreatif inovatif yang sanggup mengubah apa saja yang tersedia di desa menjadi sesuatu yang berharga, laku jual dan menguntungkan. Disamping itu perlu dibarengi dengan pelatihan ketrampilan berorientasi industri lokal dengan tehnologi yang dikembangkan secara bertahap untuk menampung tenaga berpendidikan rendah secara masal agar setiap penduduk mempunyai kesempatan kerja disamping bekerja dalam bidang pertanian modern. Masuknya tenaga kerja semi terdidik secara massal itu akan menjadi peristiwa besar pembangunan budaya kerja keras di kalangan masyarakat luas sehingga pendidikan untuk anak muda menjadi bagian dari upaya baru menciptakan generasi muda yang kreatif dan sanggup bekerja cerdas dan keras.
Pusat-pusat pelatihan ketrampilan perlu banyak dimunculkan di pedesaan sekaligus dijadikan pusat-pusat industri dan pemasaran yang menarik pembeli yang berbondong datang untuk membeli dan menghargai produk-produk lokal yang dibuat oleh anak bangsanya dengan penuh cinta kasih karena menghargai perjuangannya. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri, www.haryono.com).