SEBULAN terakhir media heboh membahas isu dijualnya Gunung Ciremai, Jawa Barat kepada salah satu perusahaan minyak terbesar asal Amerika Serikat, Chevron. Kabarnya harga yang diberikan oleh pemerintah Indonesia senilai Rp60 triliun, angka yang sangat luar biasa besarnya.
Menurut informasi yang berkembang, ternyata memang benar Ciremai telah ‘dijual’ ke perusahaan asing. Bukan Gunungnya melainkan hasil kekayaan alamnya yang telah dijual. Kenyataannya proses menjual gunung ini bukan baru-baru ini, namun sudah dimulai sejak 2012 lalu.
Pemerintah pusat, Propinsi, dan pihak SDAP (Sumber Daya Alam dan Pertambangan) telah melakukan proses pelelangan soal eksplorasi kandungan di Gunung Ciremai, dan proses tender itu diikuti dua perusahaan besar yang asalnya bukan dari negeri sendiri, pada akhirnya perusahaan Chevron yang berhasil memenangkan tender mengenai eksplorasi kekayaan alam yang ada di Gunung Ciremai.
Berkembangnya isu Pemerintah Pusat dan Jawa Barat menjual Ciremai memang tidak banyak diketahui oleh masyarakat Kuningan, Jawa Barat, khususnya warga di desa lereng Ciremai. Masyarakat mengkhawatirkan pengeboran akan mengakibatkan gempa minor di jarak 1 – 5 km, keluarnya gas karbondioksida, hidrogen dan metana yang mencemari lingkungan dan mengurangi kualitas air.
Kekayaan alam yang akan di eksplorasi adalah geothermal. Pemerintah dan pihak Chevron satu suara, bahwa aktivitas itu merupakan eksplorasi kekayaan alam yang ramah lingkungan dan tidak merugikan masyarakat. Namun berbanding terbalik dengan pengamatan para ahli yang meneliti Geothermal. Mereka menilai geothermal tidak ramah lingkungan akan mengakibatkan hal yang sudah dijabarkan diatas tadi.
Proyek Geothermal yang memiliki potensi sebesar 150 Megawatt ini akan mulai dibangun pabriknya oleh Chevron pada tahun ini. Pihak SDAP mengklaim, prosedur sosialisasi kepada masyarakat sekitar sudah dilakukan. Kenyataannya setelah dikonfirmasi oleh ‘Kuwu’ atau Kepala Desa, pihak Chevron dan pemerintah belum melakukan sosialisasi kepada mereka.
Tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat Kuningan apabila proyek ini dilakukan, tetapi masyarakat Cirebon akan sangat merasakan dampaknya. Mengingat Cirebon dan Kuningan sangat bergantung pada Ciremai sebagai sumber air, dikhawatirkan pasokan air di Kuningan akan berkurang. Logikanya adalah apabila Kuningan kekurangan air lalu bagaimana dengan masyarakat Cirebon yang sangat bergantung dengan Kuningan.
Pemerintah mengklaim bahwa geothermal merupakan sumber bahan bakar alternatif selain sumber yang tidak bisa diperbaharui lainnya semisal batu bara dan minyak bumi. Geothermal akan menambah pasokan listrik nasional hingga 150 ribu megawatt.
Eksplorasi Tak Terkontrol
Berbicara soal undang-undang, minim aturan yang membatasi eksplorasi kekayaan alam di Indonesia. Minim pula pengawasannya. Alhasil, kasus Ciremai akan melanggengkan pihak asing mengeruk sepuasnya kekayaan alam nasional.
Sekalipun ada aturan yang dibuat oleh pejabat berwenang, dalam hal ini Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), dimana diharamkan melakukan kegiatan kehutanan maupun non kehutanan di kawasan konservasi. Pertanyaannya, kalau tidak di wilayah konservasi dimana? Logika bermain disini apabila tidak boleh ada eksplorasi di kawasan konservasi, mungkinkah di pemukiman warga? atau lingkungan yang jadi sumber penghidupan masyarakat sekitar lereng Ciremai?.
Kuningan, Jawa barat merupakan salah satu daerah yang memiliki kawasan konservasi luas di Indonesia. Kawasan konservasi terbagi atas beberapa zona. Salah satunya zona pemanfaatan yang memang diperuntukan bagi masyarakat sekitar untuk berusaha tanpa merusak keseluruhan kawasan.
Zona pelindung dan penyangga jadi wilayah yang haram dimasuki terlebih untuk eksplorasi kegiatan non kehutanan. Adanya kerjasama antara Pemda dengan Pemerintah Pusat lewat Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, salah satunya mengakomodir kebutuhan rakyat yang didapat dari hutan Ciremai. Kala itu, kerjasama ini juga menimbulkan pro dan kontra.
Pro dan kontra muncul ketika ada masyarakat yang ingin mencari kayu bakar dan hasil alam lainnya melewati zona pemanfaatan, maka TNGC akan memberikan sanksi meskipun hanya sebatang kayu, tetap di proses karena melanggar hukum. Ini ironis dengan amanat UUD 1945, pasal 33 yang menyebut , ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.’
Lagi-lagi masalah Chevron menambah kekhawatiran rakyat di kaki gunung Ciremai. Mereka takut akan menjadi turis di negerinya sendiri dan mereka takut untuk di relokasi. Setelah mencari data mengenai geothermal ternyata Indonesia bukan negara yang pertama soal eksplorasi geothermal.
Di Eropa, Australia, dan Amerika ternyata sempat ingin melakukan eksplorasi geothermal tetapi pemerintah disana dengan tegas menolak karena akan ada faktor yang merugikan dari eksplorasi ini, lalu pertanyannya kenapa Indonesia mau mengambil resiko itu padahal WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) tidak jauh dari lokasi tinggal masyarakat.
Apabila pemerintah ingin menghemat sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seharusnya pemerintah melihat kemandirian salah satu masyarakat di daerah Bantul mampu menghasilkan listrik mandiri, dengan cara membangun kincir angin di pantai selatan dan menkonversi kotoran sapi untuk dijadikan tenaga listrik.
Kemandirian ini memungkinkan satu desa dialiri listrik yang sifatnya ramah lingkungan. Seharusnya pemerintah lebih melibatkan masyarakat untuk mengambil kebijakan yang memang menyangkut hajat hidup orang banyak, karena Indonesia Negara demokratis yang notabene nya memang masyarakat adalah pihak yang harus dilibatkan, dan gunakan kekayaan alam untuk kesejahteraan masyarakat bukan kesejahteraan salah satu pihak atau golongan.(Puteranegara, Ketua Himpunan Mahasiswa Universitas Nasional)