BEGITU Pemerintah kolonial Belanda hengkang dari Yogyakarta pada 1955, banyak aset yang ditinggalkan salah satunya adalah pabrik gula yang di dalamnya terdapat berbagai peralatan dengan bahan dasar besi, kuiningan dan baja.
Tekanan ekonomi yang sangat susah pada era itu membuat tidak banyak yang tahu bagaimana mengelola aset itu dengan baik. Alhasil menjadi terbengkalai dan tidak bisa beroperasi lagi.
Satu per satu peralatan pabrik diambil oleh warga sekitar. Ada yang untuk membuat cangkul dan keperluan penggarapan sawah, ada pula yang diambil hanya untuk membuat perlengkapan rumah tangga seperti tungku dapur atau serokan parit. Tidak ada yang terpikir bagaimana peralatan yang bernilai tinggi ini dimanfaatkan untuk hal yang lebih besar lagi.
Daliyo, pemuda lajang asal Dusun Pelem Lot, Buturetno, Banguntapan, Bantul melihat ada potensi terselubung dari rongsokan pabrik itu yang bisa dikelola sebagai bahan dasar pembuatan gamelan. Saat itu tidak banyak yang tahu bagaimana membuat gamelan atau paling tidak memanfaatkan bahan dasar ini. Peluang Ini adalah rejeki dari Allah buat saya, pikir Daliyo muda dalam hati. Maka dengan bermodalkan beberapa lembaran rupiah dia membeli besi dan baja dari masyarakat dengan harga murah karena dianggap barang rongsokan. Dengan tekad yang bulat Daliyo memanfaatkan rongsokan-rongsokan itu untuk membuat gamelan.
Tak pelak lagi usahanya mulai dikenal warga sekitar dusunnya dan mulai tersebar ke seantero Bantul dan Yogyakarta bahwa di di Dusun Pelem Lot ada seorang pemuda pembuat gamelan yang hebat. Suara gamelan produksinya nyaring dan indah.
Untuk menopang usahanya yang kian maju, pada 1957 Daliyo muda meminang seorang sinden yang juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Dengan saling membahu, pasangan muda ini mulai merancang hingga memasarkan hasil produksi mereka. Di luar dugaan, gamelan produksi pertamanya dibeli sebuah kelompok seni di Yogyakarta. Hal ini semakin membakar semangat Daliyo dan pasangannya untuk terus bekerja dan menghasilkan hasil produksi yang bagus.
Pada era 1957-1963 Daliyo masih bekerja sendirian didampingi sang istri, namun seiring banyaknya pesanan ia merekrut sejumlah orang untuk membantu dan terus berkembang hingga sekarang. Saat ini Daliyo mempekerjakan 13 orang yang sebagian besar adalah tetangga dekat rumahnya.
Sekarang Daliyo sudah tua dan menjadi kakek dari delapan orang cucu. Namun kepeduliannya untuk mempertahankan nilai nilai seni tradisional tetap tinggi, dengan sisa sisa tenaga yang ada, Daliyo terus memantau proses produksi yang dikerjakan oleh 13 pekerjanya. Tidak segan segan dia turun langsung untuk mengetes kualitas suara gamelan yang sedang dibuat.
Menurut kakek dari delapan cucu ini, seluruh tenaga kerja yang direkrut sudah diberikan pelatihan khusus. Pasalnya tidak semua orang mengerti gamelan. Untuk membuat gamelan dengan suara indah dan nyaring, komposisi bahan, ukuran dan ketebalannya harus tepat. “Meski sudah ada tenaga, saya tetap mendampingi mereka saat kerja. Kalau tidak turun langsung saya khawatir hasilnya tidak maksimal,” tutur pria paruh baya ini.
Bersama 13 karyawannya Daliyo mampu memproduksi empat set gamelan seharga Rp400 juta setiap bulan. Satu set gamelan terdiri dari dua lenthem, tiga gender, tiga penerus, dua gambang dua saron, dua peking, empat betang. 10 ketok kenong, 12 kempul gong, tiga kendang, satu siter dan satu rebah.
Untuk menghasilkan gamelan berkuwalitas bagus, Daliyo tidak menggunakan teknik cor melainkan tempa. Kalau pakai cara cor, menurutnya, lebih gampang karena hanya mengandalkan cetakan meskipun hasilnya bakal kurang memuaskan karena kualitas suara yang dihasilkan tidak melalui rekayasa seni yang tinggi. Yakni melalui tempaan sambil mendengar nyaring suara yang dihasilkan.
Kini Daliyo sukses menjadi pengusaha Gemalen ternama di Yogyakarta. Gamelan produksinya selain marambah tanah air seperti Banda Aceh dan Palembang untuk kepentingan pemerintah daerah khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga dibeli oleh kelompok transmigran di daerah tersebut. Selain di dalam negeri, gamelan produksi Daliyo sudah terjual ke mancanegara seperti Jerman, Jepang, Malaysia dan Kanada.
Keuntungan dari produksi gamelan sekitar 25 persen dari harga jual. Artinya, jika dalam satu bulan dia bisa menjual empat set gamelan, berarti keuntungan yang diraup me4ncapai Rp100 juta. Tak heran jika Pak Daliyo lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Juragan Daliyo” di kampungnya.
Berbeda dengan saat memulai usaha itu, Daliyo harus selalu mencari warga yang mau menjual rongsokan besi, baja dan kuningan sebagai bahan dasar pembuatan gamelan, kini urusan bahan baku sudah diserahkan sepenuhnya kepada pemasoknya dari Surabaya.
Masih belum lengkap sebuah gamelan kalo belum dilengkapi dengan aksesoris yang terbuat dari kayu. Untuk membuat aksesoris, Daliyo menggunakan kayu pohon nangka meskipun sebenarnya kualitas terbaik adalah dengan menggunakan kayu jati. Namun karena perbedaan harga yang tiinggi Daliyo hanya menggunakan kayu nangka. Untuk menghias kayu kayu tersebut, Daliyo memberikan ukiran cantik dan warna warni khas keraton, seperti emas, hijau dan merah. “Namun terkadang saya serahkan kepada pemesan, mau warna apa akan saya penuhi,” katanya.
Lantas setelah maju apa yang dibuat Daliyo untuk kelangsungan usahanya tersebut? Dalyo sudah menyiapkan tiga dari empat putranya sebagai penggantinya kelak. “Tidak khawatir usaha ini akan berhenti saat Allah memanggil saya,” ujarnya sambil memulul gong, ….GOOOONGGGG . (hasyim husein)