JAKARTA (Pos Sore) — Pengumuman Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi dalam rapat paripurna istimewa terkait permintaannya kepada Presiden RI melalui Menteri Dalam Negeri untuk pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, masih menyisakan kontoversi.
Pasalnya, rapat paripurna istimewa yang hanya dihadiri 47 anggota Dewan itu dinilai sifatnya hanya seremonial dan tidak memiliki kekuatan hukum.
“Sebaiknya dua kubu di DPRD DKI harus segera menggelar dialog untuk menentukan serta merumuskan tentang bagaimana mekanisme yang akan ditempuh, berdasarkan peraturan undang undang, apakah Ahok dapat diterima atau harus ditolak untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta,” kata Pengamat Perkotaan dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah, Minggu (16/11).
“Sebaiknya dua kubu di DPRD DKI harus segera menggelar dialog.”
Amir menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan PP No.16/2010 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, sidang paripurna istimewa DPRD tidak bisa mengambil keputusan. Sebab sidang paripurna istimewa itu diselenggarakan hanya untuk keperluan seremonial, seperti peringatan hari ulang tahun ibukota maupun untuk mengumumkan agenda kegiatan lembaga legislatif.
Karena itulah, kata Amir, sidang paripurna istimewa DPRD DKI yang digelar Jumat (14/11) itu hanyalah mengumumkan adanya surat dari Kementerian Dalam Negeri per tanggal 28 Oktober 2014 kepada DPRD DKI. Sehingga sidang itu bukan forum yang sah untuk menerima atau menolak Ahok sebagai orang nomor satu di ibukota.
“Berdasarkan kaidah hukum tata negara, surat Kemendagri bukan instrumen hukum, tapi hanya bersifat informatif. Dan apabila apa yang terjadi dalam sidang paripurna istimewa tersebut dianggap sebagai keputusan, maka itu adalah perbuatan yg melanggar aturan sehingga keputusan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum,” tegas Amir.
“Berdasarkan kaidah hukum tata negara, surat Kemendagri bukan instrumen hukum, tapi hanya bersifat informatif.”
Amir menambahkan, DPRD DKI jangan hanya terjebak dengan Pasal 23 Perppu Nomor 1 Tahun 2014, namun juga harus memperhatikan dengan seksama ketentuan yang tertera dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mulai dari Pasal 78 hingga Pasal 87.
“Kalau Dewan tidak cermat, maka dikhawatirkan sikap Dewan soal Ahok bukan menyelesaikan persoalan, tapi malahan memunculkan masalah baru yang bisa menimbulkan dampak negatif dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di Jakarta,” tandas Amir.(dodo)