Oleh: Zaenal Abidin
Dalam webinar yang berlangsung Jumat siang, 17 Maret 2023, penulis diminta untuk menjadi salah satu penanggap terkait tema “Dokter Indonesia, RUU Kesehatan Omnibus Law dan Pemikiran Transformasi Kesehatan“. Namun, jujur saja penulis lebih suka bila didahului degan dialog tentang konsep Sistem Kesehatan Nasional yang dikontruksi dari Sistem Kesehatan Daerah. Sekaligus untuk menujukkan sistem nasional itu semestinya bersumber atau diserap dari sistem, kearifan, dan kebutuhan masyarakat berbagai di daerah.
Setelah sistem, kearifan, dan kebutuhan tersebut diserap, barulah dibuat konsep besarnya, tentukan tujuan, serta mengonstruksi atau merakitnya menjadi suatu konsep sistem yang bersifat nasional. Konsep sistem ini terus dilengkapi atau diisi dengan organ/komponen-komponen kesehatan sehingga menjadi suatu sistem kesehatan nasional yang kuat.
Setelah sistem kesehatan nasional ini diayakini dan dinyatakan kuat barulah melangkah ke arah regulasi menjadi undang-undang (UU). Tentu saja dimulai dari rancangan undang-undang (RUU), yang terus-menerus didialogkan secara terbuka untuk mendapatkan masukan. Bahwa dalam dialog terdapat protes, kecaman dan seterunya, itu hal biasa.
Pembuat UU seharusnya dapat meniru cara Tuhan dalam penciptaan manusia. Tuhan menciptakan manusia secara pertahap. Dirangkai menjadi suatu kesatuan yang berbentuk janin, kemudian meniupkan roh. Setelah peniupan ruh, janin tidak langsung dilahirkan, tetapi tetap berada di dalam rahim sampai Tuhan menyatakan penciptaannya telah sempurna. Baru kemudian Tuhan “mengetuk palu” sebagai pertanda kelahirannya.
Bahkan pada penciptaan manusia pertama, Adam As. Tuhan Yang Pencipta tidak menggunakan kekuasaan-Nya secara semena-mena, meski Tuhan itu Sangat Maha Kuasa. Tuhan tetap mendialogkan rencana besarnya kepada para malaikat yang lebih dahulu diciptakan-Nya. Tuhan bersedia mendengar masukan dan protes para malaikat.
Apakah Tuhan tidak tahu apa yang dprotes dan dikhawatirkan para malaikat? Tentu saja Tuhan sangat tahu. Sebab sifat Tuhan adalah Yang Maha Tahu. Tidak ada yang tersembunyi baginya. Namun, Tuhan tetap menempuh jalan dialog sebelum melaksanakan rencana besarnya itu. Jadi, sekali pun Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Tahu, tetap tidak terburu-buru dalam menciptakan.
RUU (OBL) Kesehatan
Memperhatikan penjelasan yang tertera di dalam RUU (OBL) Kesehatan, tampak bahwa RUU yang diprakarsai DPR RI tersebut bertolak dari “Kebijakan Transformasi Kesehatan” yang digagas oleh Menteri Kesehatan. Artinya, boleh dikatakan bahwa semangat RUU (OBL) Kesehatan ini ingin mengangkat level “Kebijakan Menteri Kesehatan” menjadi UU Kesehatan, dengan cara menggabungkan banyak UU di bidang kesehatan, mengambil sebahagian-sebahagian pasalnya, kemudian mencabut ruh keberlakukannya.
Persoalannya kemudian, muncul beberapa pertanyaan. Pertama, yakinkah bahwa “Kebijakan Menteri Kesehatan” yang akan diangkat derajatnya menjadi UU dan mencabut ruh banyak UU, memang sudah itulah yang menjadi kebutuhan kesehatan rakyat Indonesia di masa depan atau hanya sekadar keinginan hari ini?
Kedua, yakinkah juga bahwa “Kebijakan Transformasi Kesehatan” ini sudah pasti akan menjadi fokus dan kebijakan kesehatan jangka panjang oleh pemerintahan berikutnya? Ketiga, yakinkah bahwa pasal-pasal yang tidak diakomodir (dibuang) dari UU yang telah dicabut ruhnya memang tidak dibutuhkan lagi oleh rakyat ke depan?
Keempat, yakinkah bahwa semua materi muatan (pasal-pasal) yang dituangkan ke dalam RUU (OBL) Kesehatan ini dibuat atas kebutuhan rakyat berbangsa Indonesia, bukan karena adanya pesanan pihak tertentu?
Kelima, yakinkah dengan pencabutan ruh sekian banyak UU tersebut tidak akan menimbulkan kekosongan hukum. Keenam, bila terjadi kekosongan hukum, kira-kira apa yang akan terjadi bagi pemerintahan dan pelayanan kesehatan Indonesia?
Mengingat, Teori Jenjang Norma Hans Kelsen, “Suatu norma hukum selalu bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya”.
Atau menurut Adolf Merkl, “Norma hukum itu mempunyai masa berlaku yang relatif, oleh karena masa berlaku suatu norma hukum itu bergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Bila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka pada dasarnya norma-norma yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.”
Kalau kita semua yakin dengan RUU (OBL) Kesehatan tersebut sudah benar dan baik untuk masa depan kesehatan rakyat dan bangsa Indonesia, tentu konsep besar dan peta jalannya dapat ditunjukan dan didialogkan secara bersama-sama.
Hal yang sama juga dengan Naskah Akademiknya, bila memang merupakan Naskah Akademik hasil penelitian atau pengkajian hukum yang diserap dari masyarakat Indonesia untuk menuntun dalam merumuskan suatu materi muatan dan mendesak untuk diundangkan, tentu juga perlu ada pengujian. Bukan sebaliknya, Naskah Akademik dibuat hanya untuk sekadar menjadi pelengkap, setelah semua “keinginan” dirumuskan di dalam materi muatan RUU.
Percaya kepada RS Indonesia
Ada lima alasan untuk tetap percaya dengan rumah sakit Indonesia. Pertama, rumah sakit (RS) Indonesia dibangun, diizinkan dan diakreditasi oleh pemerintah Indonesia. Kedua, alat kesehatan dan obat yang digunakan diizinkan dan dibeli oleh pemerintah (pasti bukan abal-abal, palsu, dan murahan).
Ketiga, uang yang dipakai membangun dan membelinya berasal dari rakyat Indonesia. Keempat, dokter yang melayani diluluskan oleh fakultas kedokteran yang diizinkan dan diakreditasi oleh pemerintah Indonesia. Kelima, dokter yang melayani diregistrasi Konsil Kedokteran Indonesia dan dizinkan oleh pemerintah Indonesia. Jadi apanya yang diragukan?
Sebagai dokter berbangsa Indonesia, penulis mengajak semua warga berbagsa Indonesia untuk saling percaya dan kemudian menaruh kepercayaan dan kebanggaan kepada RS milik bangsa sendiri. Bila ada kekurangannya sampaikan saja langsung ke RS yang bersangkutan. Jika kita percaya pemerintah kita tentu kita pun mau dan mampu menaruh rasa percaya dan rasa bangga kepada RS yang dibangun, diizinkan dan diakreditasinya.
Dokter Indonesia
Sebetulnya bila kelak RUU (OBL) Kesehatan ini dipaksakan (terburu-buru), sehingganya menimbulkan kekacauan, tidak ada juga tanggung jawab konstitusional bagi IDI dan dokter Indonesia.
Kalau pun ada tanggung jawab IDI dan dokter Indonesia paling hanya bersifat tanggung jawab “moral-intelektual dan historis” saja. Bila mau sombong sedikit dan memang dokter Indonesia perlu sedikit sombong. Sebab, “dokter Indonesia itu pejuang, memelopori Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908.” Dari sinilah tanggung jawab “moral-intelektual dan historis” tersebut bersumber.
IDI adalah organisasi profesi memiliki sambungan “benang merah putih” dengan organisasi perjuangan Boedi Oetomo. Karena itu pula para pendiri IDI memiliki garis kesejarahan dengan Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.
Pendiri IDI meletakkan pondasi bahwa organisasi profesi dokter Indonesia itu hanya satu, yaitu IDI. Bila ada yang mencoba membuat aturan yang membolehkan bahwa organisasi profesi untuk satu profesi bisa dua atau tiga dalam suatu negara, dapat dipastikan bahwa oknum tersebut keliru. Tidak paham tentang profesi. IDI pasti akan bersuara meluruskan pendapat keliru tersebut. IDI dapat saja melakukan perlawanan moral-intelektual terhadapnya.
Mengapa IDI perlu meluruskan? Sebab dualisme atau dua organisasi profesi untuk satu profesi dalam satu negara itu sangat fatal dan berbahaya bagi rakyat dan bangsa. Dan juga berbahaya bagi profesi itu sendiri.
Bahwa kemudian pendapat dan perlawanan moral-intelektual IDI tidak digubris oleh penguasa (karena sangat kuasa), tidak jadi soal. Secara moral, intelektual, dan historis IDI telah menunaikan tanggung jawabnya.
Terjadinya dualisme organisasi profesi dalam suatu negara sama fatal dan berbahayanya dengan dualimes kepengurusan partai politik di dalam suatu negara.
Nah, bila pembuat RUU (OBL) Kesehatan kemudian mengakomodir dualisme tersebut, selain sebagai kekeliruan besar, juga pertanda bahwa kelak tidak menutup kemungkinan akan mangakomodir lahirnya dualisme kepengurusan partai politik.
Persoalan lain yang muncul adalah kuatnya keinginan pembuat UU untuk menghilangkan eksistensi frasa organisasi profesi di dalam RUU yang dibuatnya. Padahal organisasi profesi ini jelas tencantun di dalam UU yang yang akan dicabut ruhnya. Organisasi profesi ini juga sejak lama telah berperan banyak dalam memberi pelayanan kesehatan kesehatan di negeri ini. Pertanyaanya, mengapa pembuat UU tidak mencoba meniru sifat bijak-Nya Tuhan?
Di dalam kitab suci, Tuhan itu sangat bijak, bahkan Maha Bijak. Sebab meski Maha Kuasa, Dia tidak menghapus nama-nama makluk-Nya. Kata malaikat, jin, syaitan, manusia, kaum tetap terlulis dengan jelas. Bahkan iblis yang sudah berjanji akan membangkan sampai dunia kiamat, namanya tetap tertulis di dalam kita suci.
Catatan akhir
Terdapat banyak masalah terkait dengan peningkatan derajat kesehatan rakyat Indonesia, namun tidak semuanya berada di sektor kesehatan. Akibatnya, tidak serta merta dapat dimasukkan ke dalam ruang lingkup regulasi di bidang kesehatan. Dan kalau tidak berada di bawah sektor kesehatan bukan berarti pemimpin di bidang kesehatan tidak mampu menjangkaunya.
Dan untuk menjangkaunya, dibutuhkan kemampuan pemimpin tersebut untuk mendengar, berkomunikasi dan berkoordinasi antar kementerian/lembaga, organisasi profesi, organisasi pemberdaya kesehatan, dan masyarakat secara luas. Karena itu, sering timbul pertanyaan, “apakah tidak tuntasnya masalah kesehatan di negeri ini disebabkan oleh persoalan regulasi atau karena persolan kepemimpinan?”
Wallahu a’lam bishawab.
*Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015