02/12/2025
AktualEkonomi

Di Balik Pintu Gudang Sarudik: Cerita Sunyi Penjarahan, Bencana, dan Transparansi yang Hilang

POSSORE.ID, Jakarta  — Pagi itu, air belum sepenuhnya surut di Sibolga. Lumpur masih melekat di dinding rumah, dan bau anyir sungai bercampur dengan bau cemas yang menggantung di udara. Dari kejauhan, Gudang Bulog Sarudik berdiri seperti bangunan yang kelelahan—pintunya terbuka setengah, seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang tidak ingin dia ceritakan.

Orang-orang di sekitar gudang berbicara pelan. Ada yang menyalahkan bencana, ada yang menyalahkan keadaan, ada pula yang menggeleng, tidak percaya bahwa selama 20 tahun terakhir, baru kali ini gudang Bulog dijarah warga.

Namun pagi itu, kenyataan terlanjur telanjang. Karung-karung beras dan jeriken minyak goreng keluar dari pintu gudang bukan melalui mekanisme distribusi negara, melainkan melalui tangan-tangan warga yang putus asa. Peristiwa penjarahan Gudang Bulog ini terjadi dari Kamis malam (28/11) hingga Jumat siang (29/11).

Penjarahan karena kelangkaan beras dan melonjaknya harga kebutuhan pokok secara drastis di tengah lumpuhnya distribusi pasca banjir dan longsor yang memutus jalur transportasi dari dan menuju Sibolga–Tapteng. Kondisi semakin memburuk akibat pemadaman listrik total, terhentinya suplai air bersih, dan matinya jaringan komunikasi.

Di satu sisi, ada lapar yang memaksa. Di sisi lain, ada sistem yang gagal hadir tepat ketika rakyat membutuhkannya.Bulog sudah merilis pernyataannya pada Minggu (30/11) —panjang, rapi, penuh angka, penuh optimismenya sendiri.BNPB pun bicara: ini “penyaluran logistik”, bukan penjarahan. Tidak ada kekerasan, katanya.

Tapi di lapangan, yang terekam kamera adalah warga berlarian membawa beras. Yang terdengar adalah suara pintu gudang digedor. Yang terasa adalah kegentingan.
Yang tidak tampak—dan inilah yang paling penting—adalah transparansi.

Bulog sendiri mengakui ada pencurian. BNPB menyebutnya penyaluran darurat. Negara, seperti biasa, mencoba meminjam kata-kata yang lebih lembut. Namun publik selalu tahu: kata yang diganti tidak mengubah kenyataan.

Di negeri ini, gudang Bulog adalah simbol terakhir dari cadangan negara. Benteng pangan.
Maka ketika gudang ini dijebol, itu bukan insiden biasa. Itu tanda bahwa sistem tidak berjalan, dan bahwa kepercayaan publik sedang menipis seperti stok beras yang diambil warga.

Dan yang lebih mengkhawatirkan: hingga hari ini, Bulog belum berani merilis berapa banyak sebenarnya stok yang hilang. Pendataan masih berlangsung, katanya. Tapi publik tahu: pendataan yang terlalu lama biasanya mengandung sesuatu yang ingin ditutupi.

Leave a Comment