Gesekan antara demokrasi digital dan represi digital mencerminkan dinamika antara kontrol negara dan kebebasan sipil.
Pemerintah berdalih bahwa pembatasan digital diperlukan untuk menjaga ketertiban umum, menjaga hoax atau menangkal radikalisme.
Namun, pembatasan ini sering tidak proporsional dan kurang akuntabel padahal demokrasi digital hanya dapat tumbuh jika terdapat ruang deliberatif yang bebas dan kontrol dari kontrol represif.
Tanpa jaminan hak digital di ruang partisipasi justru akan menjadi tempat intimidasi dan sensor, bukan arena demokratis.
Ketegangan ini semakin kompleks dengan area teologi baru yang seperti pengendalian wajah, alur gerimah penyaringan konten, kecerdasan buatan, AI yang dapat digunakan untuk meningkatkan kontrol negara atas digital informasi digital.
“Di negara kita represi digital mudah kita ketemukan dalam ruang-ruang demokrasi kontemporer. Bagaimana teknologi ini dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan mengendalikan informasi,” ungkapnya.
Dari mulai hacking, doxing para aktivis, pembukaan kritik di dunia maya, kriminalisasi menggunakan undang-undang informasi dan traksi elektronik UU ITE sehingga pemadaman jaringan internet.
Sisi gelap dari demokrasi digital adalah potensi penyalahgunaan teknologi untuk represi. Negara atau aktor lain mungkin menggunakan teknologi untuk memata-matai warga, menyensor informasi, menyebarkan disinformasi, atau menindak aktivis politik.
Forum ini diharapkan bisa menghasilkan pemikiran, pengetahuan, dan insight baru bagi sumbangsih bersama yang untuk menawarkan solusi-solusi bagi pengetahuan masalah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.