Dalam konteks Indonesia, keberadaan media sosial seperti Twitter, Instagram, TikTok telah memainkan peran penting dalam gerakan sosial.
Seperti kabur aja dulu, hingga Indonesia gelap, menunjukkan bentuk-bentuk partisipasi publik yang semakin terbuka setelah terafiliasi dengan kemajuan digital.
Fenomena tersebut, menurut, Pontjo merupakan konteks baru dari sisi saluran atau media yang difasilisasi oleh kemajuan teknologi, technology advance.
Kehadiran demokrasi digital karena munculnya ketidakpercayaan pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang kerap memiliki narasinya sendiri yang cenderung tunggal di tengah aspirasi publik yang berbagai bidang.
“Lembaga-lembaga perwakilan kita dan di partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik demokrasi kita hari ini semakin monolitik,” tukasnya.
Pontjo melanjutkan, parlemen sering gagal menjadi saluran rakyat. Lebih sering hadir sebagai saluran sekelompok kecil elit politik dan ekonomi yang disebut oligarki.
Konteks tersebut mendorong lahirnya dinamika politik baru yang melampaui dinamika politik di parlemen yang sering tidak memantulkan aspirasi publik.
Meski demikian, ada kebijakan dan tindakan untuk melakukan kontrol dan pembatasan oleh negara atau kekuatan dominan dalam menghadapi partisipasi publik di dunia maya.
Akibatnya, terjadi tensi dan ketegangan antara partisipasi yang melalui ruang demokrasi digital dengan upaya-upaya untuk melakukan kontrol atau restriksi melalui represi digital.