MADYAN — Di suatu sore yang panas, seorang bocah perempuan bernama Saneeda sedang berjalan pulang ke rumah di daerah Lembah Swat, Pakistan usai sekolah. Di tengah jalan, tiba-tiba ayahnya muncul dan mencegatnya. Rupanya ayahnya berniat mengawinkannya secara paksa dengan orang yang belum pernah dilihatnya hanya untuk membayar utang ‘kehormatan’. Padahal Saneeda baru berusia lima tahun.
Beberapa bulan sebelumnya, ayah Saneeda, Ali Ahmed kawin lari dengan seorang gadis yang berasal dari lembah lain. Untuk menghindari balas dendam dari keluarga perempuan, Ahmed berjanji akan mengawinkan putrinya dan keponakan perempuan Sapna dengan kerabat mereka.
Menawarkan anak perempuan sebagai calon pengantin untuk melunasi sebuah sengketa masih menjadi kebiasaan penduduk yang tinggal di banyak daerah di Pakistan yang masih konservatif. Di Lembah Swat, barat laut Pakistan, praktik ini dikenal dengan sebutan “swara”.
Data pemerintah menunjukkan praktik ini meningkat di Swat, sebuah lembah yang pernah dijuluki “Swiss di Pakistan”. Ironisnya tren ini justru meningkat empat tahun setelah operasi militer berhasil mengakhiri dua tahun kekuasaan Taliban yang brutal di lembah itu. Sembilan kasus tercatat terjadi di daerah itu pada 2013, naik dari hanya satu kasus pada 2012. Berbagai kelompok HAM menyebutkan jumlahnya yang sebenarnya jauh lebih banyak.
“Ayah mencegat saya di jalan dan mengatakan saya akan dikawinkan dengan seorang pria untuk menjadi suami untuk membayar utang kehormatan,” kata Saneeda malu-malu.
Ibunya mula-mula menolaknya. Namun putusan itu justru dikeluarkan atas perintah jirga, sebuah pertemuan para anggota suku, sehingga situasinya menjadi jelas. “Kami semula mengira mereka tak bisa membawa anak ini. Namun mereka terus mendesak agar anak itu diserahkan dalam swara,” ujar Fazal Ahad, paman Saneeda dari pihak ibu.
Akhirnya keluarga Saneeda mendapat perlindungan dari pengadilan. Polisi menangkap ayahnya dan anggota jirga yang memutuskan untuk menyerahkannya dalam swara. Saneeda beruntung.
Namun kini, di usia tujuh tahun, ia masih mengalami diskriminasi dan cemooh dari teman-teman sekolahnya. Saneeda termasuk kasus yang jarang terjadi karena keluarganya menantang putusan jirga. Di masyarakat Pakistan yang cenderung patriarkal dimana reputasi keluarga adalah segala-galanya, penolakan semacam itu sangat jarang terjadi. Apalagi disorot publik.
“Ada banyak kasus swara lain. Tapi orang tak mau melapor ke polisi dan pengadilan dan tak mau membahasnya terbuka ke publik. Kami tidak mau membahas kasus perempuan ke pengadilan. Gadis yang menjadi korban harus menanggung semuanya,” jelas Ahad.
Sejauh ini pemerintah tidak punya data rinci tentang swara. Namun Samar Minallah, seorang aktivis, mencatat sekurangnya ada 132 kasus di Pakistan pada 2012 lalu. Gadis lain yang diserahkan ayah Saneeda, Sapna yang berusia 16 tahun, terpaksa patuh pada putusan jirga dan menikah ddengan pria yang dipilih jirga. Wartawan sulit mendapatkan keterangan dari Sapna tentang pengalamannya lantaran adat dan sikap bungkam yang masih dianut masyarakat.
Menurut Ahad, ada sembilan kasus Swara yang terjadi di Swat. Namun para korban kini semakin terbuka untuk membicarakan nasib mereka setelah tahu bahwa praktek swara tergolong tidak baik. Nikah paksa berdasarkan swara jelas melanggar hukum. Sekalipun ada gugatan terhadap praktek itu, jarang saksi yang bersedia memberikan keterangan. “Dalam kasus swara, orang enggan memberikan bukti yang memberatkan orang lain. Karena mereka berasal dari desa dan komunitas yang sama,” ujar Naveed Khan, seorang polisi senior di Mingora, kantor pusat untuk daerah Swat. “Dalam kasus pernikahan swara pada 2012, semua 12 tertuduh telah dibebaskan karena kekurangan bukti terhadap mereka. Tak seorang pun berani berbicara terbuka,” tambahnya.
Polisi menangkap 65 tersangka dalam sembilan kasus swara pada 2013, termasuk ayah Saneeda. Tapi nasib mereka tergantung pada hasil persidangan. Menurut Minallah, tak satu pun bisa berubah hingga polisi dan pengadilan dapat menantang para tetua adat dan suku. Ini adalah tugas sulit di daerah dimana struktur kekuasaan tradisional sudah berurat akar secara mendalam di masyarakat.(saudigazette/meidia)